Lebaran yang Mendewasakan
Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag
Perbedaan berhari raya idul fitri tahun ini tidak mempengaruhi semangat silaturahmi. Pemudik tumpah ruah melewati jalan raya yang hampir-hampir tidak mampu menampungnya. Padat merayap hingga kemacetan terjadi diberbagai tempat. Bagi pemudik, semua tantangan itu tidak terasa berat. Harapan bertemu dengan keluarga dan berjumpa dengan tumpah darah menghilangkan rasa letih perjalanan. Sisi yang lain, perbedaan berhari raya tentu menjadi sarana pendewasaan dalam kehidupan keberagamaan yang beragam menjadi keniscayaan.
Perbedaan adalah sebuah fakta alamiah dalam kehidupan di atas bumi yang bundar. Yang diperlukan adalah pengakuan akan adanya perbedaan, meski secara nilai, sikap, dan praktik tidak mengikutinya. Mengakui perbedaan bukan berarti larut dalam semua arus khilafiah. Mengakui perbedaan berarti memahami adanya perbedaan dan pada waktu yang sama memiliki sikap dan pendirian. Al Quran, dengan lugas dan tegas menyatakan bahwa perbedaan itu menjadi ujian. Al-Maidah (5): 48. Perbedaan itu dapat hilang pada saat manusia mampu naik ke posisi atas, berpikir general dan substantive. Bagaikan seorang pendaki yang tiba di puncak bukit, seraya melihat pemandangan indah di sekeliling, hamparan hijau bagai permadani yang menyejukkan mata. Padahal, saat di kaki bukit, dia menyaksikan beribu jenis pohon yang berbeda bentuk, beratus jenis bunga aneka bentuk dan warna, berpuluh aliran sungai yang menjadi habitat berbagai makhluk hidup. Namun setiba di puncak, semua hilang.
Memahami dan mengakui keberagaman sambil terus belajar untuk memberi kebaikan sangat penting dalam kehidupan terbuka seperti sekarang. Namun, yang terjadi tampaknya masih jauh panggang dari api. Masih ada cemooh dan ujaran kebencian atas nama perbedaan. Kabar buruk pertikaian antar anak bangsa di belahan bumi Afrika, Sudan, juga mewarnai suasana idul fitri tahun ini. Sebelumnya perang Rusia-Ukraina juga belum menampakkan akhir hingga hari ini. Di tengah kegembiraan berhari raya, kita merasa bersedih melihat begitu banyak insan tak berdosa harus meregang nyawa. Sudan sebagai Negara berpenduduk mayoritas muslim harus menerima nasib yang mengerikan. Semoga tidak terjadi di Negara kita tercinta, Indonesia.
Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals, Sumanto Al Qurtuby, menulis opini di sebuah harian nasional, 27 April 2023 dengan judul “Prahara Sudan”. Sumanto memotret situasi dan histori Sudah dalam konteks Indonesia yang patut direnungkan. Ada empat pelajaran berharga, khususnya bagi bangsa Indonesia, menurutnya, yang harus direnungkan. Empat aspek tersebut tampaknya memiliki kesamaan antara Indonesia dan Sudan.
Pertama, pluralitas atau kemajemukan jika tidak dikelola dengan baik dan cermat dapat menjelma menjadi petaka. Seperti di negara kita, Sudan juga menampung banyak suku, etnis, agama, ideologi, klan, dan politik. Meski mayoritas muslim, mereka terbelah juga dalam berbagai kelompok paham keagamaan. Ada islamis, salafi, sufi, nasionalis, sekularis, tradisionalis dan sebagainya. Tragisnya, menurut Sumanto, masing-masing kelompok ini berlomba ingin jadi penguasa, dan sering dilakukan dengan kekerasan, kudeta.
Kedua, jika kekuasaan telah menjadi panglima dan tujuan, pertikaian pisik sering menjadi solusi. Seharusnya, posisi dan jabatan hanya menjadi salah satu sarana dan kendaraan untuk memberi layanan kepada masyarakat, masih banyak posisi sosial yang dapat menjadi wasilah pengabdian di luar kekuasaan formal.
Ketiga, jika agama dan aliran apapun yang dianut negara, selama yang berkuasa tidak bermoral, akan sulit mewujudkan keadilan dan ketentraman bagi masyarakat. Yang diperlukan pemimpin bukanlah identitas primordial, melainkan watak dan prilaku yang bersih, jujur, berkemauan bekerja untuk kemaslahatan publik, komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan, dan memelihara kebaragaman.
Keempat sistem politik, ekonomi, dan hukum apapun yang dianut, termasuk penerapan syariat Islam secara formal, jika hanyalah sebagai kendaraan atau tunggangan bagi keserakahan penguasa, maka keadilan social akan mustahil diwujudkan. Ketidakadilan dalam politik, ekonomi, dan hukum akan menjadi bom waktu ledakan dahsyat yang dapat saja melahirkan perang saudara.
Semoga kita bangsa Indonesia semakin dewasa dalam perbedaan. Semoga lebaran ini semakin mendewasakan. Taqabbal Allah minnaa wa minkum. Amin.