Mudik, Lebaran, dan Idul Fitri (Renungan Ramadan 1444 H Bag. IV)
Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag.
Tidak terasa, Ramadan 1444 H hampir meninggalkan kita. Dalam riwayat, para Sahabat ada yang mencucurkan air mata karena duka saat usia telah senja, khawatir dengan Ramadan tahun mendatang tidak akan berjumpa. Tentu kita juga bermunajat, dengan penuh harap, semoga Allah memanjangkan usia kita, hingga dapat menikmati Ramadan di tahun mendatang, kalaulah tidak sebulan penuh, walaupun hanya sesaat. Masing-masing kita pasti memiliki goresan kesan tersendiri yang melintas di hati. Kesan positif pasti yang paling kita harapkan. Ketika tiba 1 syawal, kita benar-benar dapat merayakan hari agung ini dengan penuh suka cita. Larut dalam lantunan takbir, seakan segalanya telah kita raih berkat hidayah Tuhan Yang Maha Agung.
Mudik
Hebat sekali orang-orang tua kita dulu, dengan cara metafora, menyebut setiap orang berlebaran ke kampung halaman dengan sebutan “mudik”. Metafor (dalam bahasa Arab “majaz”) adalah sebuah gaya bahasa tingkat tinggi yang berfungsi sebagai perumpamaan. Di samping indah, ungkapan metafor membawa penutur dan penerima pesan menghayalkan suatu hal yang berada di luar teks kata pada saat penuturan atau sesudahnya. Kata metafor menghajatkan renungan yang luas dan dalam.
Mudik berarti ke hulu sungai, melawan arus. Menyesuaikan arah dengan arus air pegunungan yang turun ke hilir, disebut juga degan “labuh”. Mudik-labuh, hulu-hilir, dan darat-laut adalah kearifan lokal masyarakat Banjar yang familiar dengan kehidupan sungai. Secara leksikal/hakiki, mudik adalah melawan arus. Namun, dalam makna metafor, mudik dapat dipahami kembali ke asal. Kampung halaman sebagai tumpah darah asal kelahiran dapat dimaknai sebagai asal usul kita. Asal usul kita bila ditarik secara teologis berarti adalah Pemilik Seru Sekalian Alam, Allah Rabbul ‘alamin. Betapa tingginya makna filosofis mudik. Makna itu saja dapat menyedarkan manusia pada hakikat dirinya. Dia diciptakan oleh Allah dan akan kembali (mudik) kepada-Nya.
Dalam ayat-ayat pertama di turunkan, lima ayat pertama surah al-’Alaq, Allah menegaskan bahwa perintah membaca disandingkan dengan kesadaran asal kejadian, “iqra’ bi ism rabbik alladzi khalaq” Bacalah dengan nama tuhanmu yang telah menciptakan. Melalui ayat ini, setiap kita disuruh membangun kesadaran kembali pada asal kejadian. Kita disuruh mudik pada diri sendiri.
Dalam ayat 156 surah al-Baqarah, terutama saat-saat mendapat musibah, kita disadarkan bahwa segalanya dari Allah dan akan kembali (mudik) kepada Allah. Innaa lillah…..
Kesadaran akan asal kejadian sangat penting dalam membangun akidah sebagai pondasi kehidupan kaum muslimin. Pengendalian diri akan terbangun bila kita menyadari bahwa segalanya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Tidak ada yang perlu disombongan dalam kehidupan di dunia ini, semuanya hanya pinjaman. Begitulah kira-kira makna filosofis dari kata mudik yang kita pakai dalam merayakan hari raya ini.
Keterkaitan hari raya ini dengan tradisi mudik bukanlah suatu kebetulan. Secara tradsional, mudik selama ini sering hanya kita maknai sebagai bersifat fisik. Pergi ke kampung, yang kebetulan berada di hulu, bertemu dan bersilaturrahmi dengan sanak famili, serta berbagi rezeki yang selama ini kita peroleh dalam bentuk zakat dan sedekah. Kita lupa bahwa ada satu makna yang sangat esensial dari yang kita sebut dengan “mudik” tersebut, yaitu suatu perjalanan ke hulu menuju Allah. Allah yang kita persepsi dan kita imani sebagai “hulu” sebagai pangkal segalanya. Kita sedang ruju’ atau raji’, berjalan menuju Sang Pencipta Yang Menjadi Awal dan sekaligus Akhir segalanya. Huwa al-Awwal wa al-Akhiru.
Disadari atau tidak, selama ini, sebagian kita hidup semakin menjauh dari Allah. Seperti layang-layang putus. Tidak jelas apa yang dituju. Terombang ambing oleh tiupan angin gemerlap dunia dan nafsu. Semakin lepas dari tali kendali Allah. Manusia menjadi sangat sibuk dengan dunianya hingga melupakan Allah. Ramadan yang mendidik kita full dalam ibadah malam dan siang memiliki tujuan agar kita mudik dalam spiritual, kembali mendekati Allah. Allah yang sudah secara permanen dekat dengan kita, namun manusia, dengan berbagai kesibukannya, selalu berfluktuasi dalam kedekatannya kepada Allah.
Dalam keyakinan kita, Allah selalu hadir dalam kehidupan kita, hanya kita yang sering absen dalam taqarrub kepada-Nya. Allah selalu menyertai perjuangan kita, hanya kita yang kurang bahkan nihil dalam bertawakkal kepada-Nya. Allah selalu membagi rahmat-Nya dalam setiap ruang kehidupan makhluk-Nya, hanya manusia sering lupa bahwa yang dinikmatinya itu semata-mata terwujud atas kemurahan-Nya.
Hati yang enggan mudik untuk menemui Allah akan merasakan kehampaan dalam hidup. Hanya dengan mendekati Allah, mudik kepada-Nya hidup kita akan tenang dan bermakna.
Untuk memantapkan proses mudik spiritual itu, Rasulullah mempraktekkan i’tikaf di sepuluh akhir Ramadan. I’tikaf bermula dari keinginan menyucikan batin melalui oleh pikiran dan olah rasa dengan perenungan (tafakkur/meditasi) mendalam tentang hakikat kehidupan. Renungan itu berkolaborasi dengan shalat nafilah, zikir, doa, munajat, dan bacaan Alquran, bahkan dengan diam.
Perenungan itu bersifat menyeluruh berdimensi jamak tentang semua segi dalam bingkai kebertuhanan seluruh makhluk, termasuk sang pelaku i’tikaf sendiri sebagai subjek dan objek. Pikirannya melayang menembus batas-batas indrawi. Renungannya tenggelam dalam kemahabesaran Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Suci. Seluruh angka menjadi tiada berdaya untuk menghitung dan berlogika. Semua warna, bahkan semua kategori dan klasifikasi yang biasa dipakai dalam dunia ilmiah pun menjadi sirna. Tak ada yang berarti, tak ada yang bernilai, tak ada yang abadi, hingga tak ada yang mawjud secara permanen, kecuali Dia Yang Maha Agung. Perasaannya menjadi tenggelam dalam asmaul husna.
Dengan perenungan itu, jalan mudik menuju Tuhan tidak pernah macet, karena berada dalam ketersediaan ruas tol yang lebar dan penuh cahaya terang, shiratal mustaqiim.
Kalau selama Ramadan kita merasakan masih ada hambatan jalan kita mudik menuju Tuhan, itu berarti perlu koreksi pada diri masing-masing. Mungkin amaliah Ramadan kita belum sempurna. Mungkin kita masih berpuasa secara awam, tidak mampu menata hidup dalam dekapan-Nya dan berpola kesederhanaan seperti yang diajarkan amalan Ramadan siang puasa dan bertaqarrub di kala malam.
Mudik spiritual akan dialami oleh setiap orang yang berpuasa dengan benar dan beribadah malam harinya dengan istiqamah, meski secara fisik dia tidak berpindah kemanapun. Dia tidak musafir dalam arti fisik, namun jiwa dan hatinya melayang rindu bertemu Tuhan. Dari situlah akan lahir ketenteraman, kedamaian, dan kemenangan (minal ‘aidin wal fa izin).
Lebaran
Sadarkah kita bahwa kata “lebaran” berasal dari kata “lebar” yang diakhiri dengan “an”. Lebaran memang salah satu tujuan Ramadan. Lebaran bukanlah pesta dengan makanan berlimpah dan berbaju baru, unjuk keberhasilan hidup kepada kampong yang menjadi tumpah darahnya. Bukan… Lebaran adalah orang yang berhati lebar. Hatinya dipenuhi cahaya Ramadan. Cahaya yang membiaskan sinar ke segala sudut dan arah, terang benderang.
Hati yang lebar memungkinkan lahirnya sikap arif dalam menghadapi semua dinamika hidup. Bersimpati dan sekaligus berempati kepada seluruh makhluk-Nya. Berhati lebar mewujudkan kehdipan yang penuh makna. Hati yang lebar menyadari bahwa kehidupan ini sebaai anugerah Tuhan dan dia hanya salah satu dari keseluruhan ciptaan. Hati yang lebar tidak pernah akan berbuat angkara durjana, tidak akan berbuat zalim, tidak akan menghina dan merendahkan yang lain. Dia hidup dalam simbol “kita” bukan “aku” Semua orang akan mendapatkan kebaiakannya.
Selama ini boleh jadi hati kita sempit atau sangat picik. Kesempitan hati melahirkan berbagai problem kehidupan, bahkan dengan dirinya sekalipun. Dia tidak mampu menjadi “manusia selesai”, manusia yang dapat menguasai dan mengendalikan dirinya. Manusia selesai yang akan mampu menyelesaikan problem orang lain.
Idul Fitri
Idul fitri adalah puncak dari mudik dan lebaran. Idul fitri (kembali kepada fitrah kesucian, kembali berbuka). Semala Ramadan kita menutup kran kehidupan agar kapasitasnya terasa penuh. Sekarang ketika tiba 1 syawal, kran itu kita buka, air jernih spiritual kita akan mengalir ke seluruh sisi untuk menebarkan semua kebaikan. Itulah saat-saat kita akan menemui hakikat kemanusiaan kita, fitri kesucian, fitrah yang menjadi cetak biru kejadian.
Kita memang masih was-was, apakah ibadah kita selama ini telah diterma oleh Allah. Apakah hidup kita diridlai-Nya. Apakah hati dan pikiran kita dalam bayangan hidayah-Nya. Apakah mudik spiritual kita tidak menemui jalan kemacetan. Apakah hati kita sudah benar-benar lebar.
Keragu-raguan kita itu sangatlah wajar, karena Allah menegaskan di ujung ayat 183 al-Baqarah tentang perintah puasa dengan “la’allakum…… “ (yang bermakna littaraji wa tawaqu’i), suatu kata yang menunjukkan kemungkinan gagal dalam mencapai tujuan. Maka untuk itu, seperti yang dipraktekkah oleh para sahabat Nabi, ketika mereka berjumpa dalam suasana idul fitri, mereka berkata “taqabbalallaahu minna wa minkum” (mudah-mudahan Allah menerima amal kami dan amal kalian).
Selamat Idul Fitri 1444 H, taqabbalallahu minna waminkum, taqabbal ya karim, kulla ‘amin wa antum bikhair. Semoga dipanjangkan usia hingga Ramadan di tahun depan, Allah takdirkan menjumpai kita. Amin.