Penting dan Pantang Makan (Renungan Ramadan 1444 H Bag. I)
Oleh : Dr. H. Sukarni, M.Ag
Secara sederhana makna puasa adalah menahan makan dan minum. Ayat 183 dan 187 al-Baqarah menegaskan seperti itu. Orang beriman diwajibkan tidak makan dan tidak minum sejak terbit fajar hingga magrib, kira-kira 13,5 jam. Berarti dalam Islam ada saat-saat tertentu dilarang makan dan minum. Apakah ini bertentangan dengan fitrah fisik tubuh yang setiap saat memerlukan asupan gizi dalam jumlah kalori tertentu untuk mendukung keberlangsungannya? Tentulah tidak. Tuhan maha alim dan bijaksana terhadap nasib semua ciptaan-Nya.
Benarkah kita dilarang makan, ternyata tidak. Sejumlah ayat Al-Qur’an (khususnya di surah al-Baqarah) sebelum perintah puasa justru menyuruh makan. Pada ayat 168 dan 172 surah yang sama, Allah menyuruh makan yang halal dan yang baik-baik serta bersyukur. Tiga ayat ini (168, 172, dan 183 Al-Baqarah) mengajarkan kita tentang penting dan pantang makan.
Makan menjadi penting karena perannya sebagai penopang kehidupan jasmani. Jumlah yang cukup dari kalori makanan menentukan kesehatan fisik. Yang diperlukan adalah ketaatan pada jumlah kalori yang cukup, tidak berlebihan, dan tidak kurang. Secara awam, selera dan rasa lapar/haus menjadi alarm tubuh alamiah untuk pemenuhan kalori. Meski demikian, setiap kita harus mempelajari soal kalori ini, baik secara ilmiah maupun alamiah. Itulah makna “thayyib” dalam ayat 168 dan 172 tersebut.
“Halal” secara bahasa adalah terbebas atau terurai. Terbebas dari kaitan dengan pihak lain. Pada saat kepemilikan sesuatu masih tertaut dengan orang lain, maka ia harus dihormati sebagai milik orang lain. Diharamkan untuk dikonsumsi pada saat kepemilikan masih terkait dengan orang lain, itulah makna haram. Suatu binatang yang diharamkan harus dihormati, tidak boleh didomestikasi. Elang, misalnya, karena dapat mencakar bangkai secara lincah melalui kuku dan kakinya, harus dihormati (diharamkan). Melalui elang, banyak bangkai yang mengambang di pesisir laut menjadi makanannya. Kepunahan elang dapat membuka pertumbuhan dahsyat bakteri jahat yang bersumber dari bangkai dan berbahaya bagi manusia.
Penghormatan itu sebagai salah satu arti “haram”. Makanan yang diharamkan karena zatnya atau dampaknya pasti terkait dengan sesuatu yang lain. Bangkai, misalnya, diharamkan karena ia terkait dengan kesuburan tanah. Bangkai menghasilkan bakteri yang bernilai baik bagi kesuburan tanah. Kesuburan tanah akan bermanfaat bagi tumbuhan. Tumbuhan yang subur menghasilkan buah. Buah-buahan berguna bagi pemenuhan vitamin untuk semua makhluk hidup. Terjadi siklus mata rantai makanan yang sangat menakjubkan dari barang haram, seperti bangkai.
Suruhan makan pada ayat 172 diikuti dengan perintah bersyukur. Berterima kasih pada mata rantai ketersediaan makanan menjadi pintu kesyukuran kepada Tuhan. Secara jujur, setiap yang dimakan telah melibatkan mata rantai pasok yang sangat panjang. Nasi yang ada dalam periuk adalah hasil petani. Petani menjual kepada pengumpul dan pedagang. Untuk menghasilkan padi yang berbuah, petani menghajatkan bibit, pupuk, buruh, dan mungkin pestida. Semakin ke belakang, semakin terasa peran-peran penting dinamika rantai pasok ketersediaan makanan. Akhirnya, kita bersyukur secara jumlah kepada Allah, Pencipta, Pengatur, dan Pendidik semesta alam.
Mungkin inilah mengapa suatu saat kita disusuh makan, tapi pada kali yang lain, kita disuruh untuk tidak makan/berpuasa. Selamat berpuasa (bersambung).