Mengubah Masa Lalu (Catatan Menyambut Ramadan 1444 H Bag. II)
Oleh : Dr. H. Sukarni, M.Ag
(Catatan Menyambut Ramadan 1444 Bag. II)
Tiga hari lagi kita memasuki Ramadan 1444 H. Sebagaimana namanya, secara harfiah, kata Ramadan berarti membakar. Membakar berarti mengubah, menghanguskan. Apa yang dihanguskan. Dalam tiga hadits Nabi Saw, yang dihanguskan adalah dosa masa lalu. Masa lalu sering menjadi penyebab nasib masa kini dan depan. Masa lalu tidak dapat diubah oleh kita. Masa lalu menggores kesan yang dalam pada hidup kita, dia membuat sejarah yang sering tak terlupakan. Namun Allah berjanji akan membaliknya menjadi kebaikan. Itulah pesan dan peran Ramadan.
Ada tiga hadits Nabi yang menjelaskan penghapusan dosa masa lalu melalui amaliah Ramadan. Pertama “Barang siapa berpuasa Ramadan dengan iman dan pengharapan, diampuni Allah dosa masa lalunya”. Kedua “Barang siapa yang mengisi ibadah di malam Ramadan dengan iman dan pengharapan, diampuni Allah dosa masa lalunya”. Ketiga “Barang siapa beribadah di malam qadar dengan iman dan pengharapan, diampuni Allah dosa masa lalunya”.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
من قام ليلة القدر إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه
Tiga hadits sahih tersebut memiliki pola narasi yang sama pada penjelasan tentang hasil yang diberikan Allah kepada tiga perbuatan: berpuasa, beribadah di malam hari, dan secara khusus beribadah di malam qadar. Melalui tiga hadits ini, masa lalu yang suram dalam catatan kehidupan dapat disulap menjadi nilai kebaikan dengan keimanan dan harapan dalam mengerjakan puasa, amaliah malam Ramadan, dan kesungguhan pada sepuluh akhir Ramadan. Alangkah besarnya berkah yang dijanjikan Tuhan. Mengubah masa lalu yang minus menjadi modal positif kehidupan. Semua itu diberikan bagi yang mengisi Ramadan dengan benar.
Puasa adalah menahan. Menahan dari keinginan berbuat dosa. Sebenarnya bukan hanya menahan yang harus dilakukan, tetapi melawan. Kalau Nabi mengatakan saat Ramadan, syetan diikat, itu berarti baru menahan. Bagaimana kalau syetan itu lepas dari ikatannya. Oleh itu yang dilakukan adalah melawan. Dalam Alquran, saat Nabi Adam turun ke bumi, Allah menyatakan bahwa sebagian kamu dengan sebagian yang lain adalah musuh. Jadi selalu ada pertarungan antara manusia dan syetan dalam kehidupan. Puasa melatih kita melawan (bukan menahan) godaan syetan.
Puasa harus dilakukan dalam suasana manahan dan melawan godaan duniawi. Mungkin banyak orang yang mampu menahan lapar dan haus saat siang hari, tetapi gagal saat berbuka dan malam hari. Dalam riwayat Abu Daud, yang dibaca Nabi saat berbuka adalah “Hilanglah dahaga, basahlah urat nadi dan tenggorokan, semoga Allah memberi pahala sesuai kehendak-Nya”. Yang hilang adalah haus. Mungkin, saat berbuka itu, Nabi masih lapar. Memang godaan saat berbuka adalah makanan dan minuman yang berlimpah. Namun, bagi orang yang sadar akan kebaikan dan kesehatan, menu berbuka adalah sederhana dan tidak berlebihan, sekedar menghilangkan haus dan dahaga dengan menu makan secukupnya.
Menghidupkan malam Ramadan adalah kelanjutan dari puasa. Puasa yang dilakukan dengan semangat melawan godaan syetan di siang hari dan saat berbuka dilanjutkan dengan mendekati Allah melalui berbagai ibadah di malam hari, terutama salat tarawih. Tarawih sendiri secara harfiah artinya ketenangan. Shalat tarawih berarti shalat yang dapat menghantarkan pelakukan dalam ketenangan untuk menemui Tuhan. Sangat disenangi bila shalat tarawih dilaksanakan dengan panjang. Yang dipanjangkan adalah berdiri dengan bacaan Alquran, ruku’ dan sujud dengan bacaan tasbih yang panjang/banyak.
Sepuluh malam hari terakhir adalah saripati Ramadan. Bagaikan buah kelapa yang semakin tua semakin banyak minyaknya, bukan seperti batang manisan, semakin keujung semakin hambar rasanya. Nabi menyebutnya sebagai malam qadar, malam dan saat-saat penentuan. Di saat-saat itulah petunjuk Tuhan dibagikan. Setiap muslim di hari-hari itu bagaikan sedang memutar tuning (penala) radio untuk menemukan frekuensi yang lebih jelas. Hidayah Allah memang mirip seperti gelombang radio yang dipancarkan ke seluruh langit dan bumi. Dalam Alquran disebutkan bahwa “Allah adalah cahaya bagi semua langit dan bumi…” Hanya manusia yang membuka frekuensi hatinya yang akan menemukan “suara” Tuhan. Di malam hari-hari terakhir Ramadan, kesempatan menemukan “suara” Tuhan itu semakin besar. Dari situlah, masa lalu kita akan diubah Tuhan menjadi kebaikan.