Kerukunan Umat Untuk Indonesia Hebat (2)
Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)
Tidak ada hal yang sepelik membicarakan keyakinan agama seseorang, apalagi bila dikaitkan dengan soal kerukunan antar umat beragama. Agama terkait emosional pribadi sekaligus rasional. Dimensi emosional kerap kali menindih dimensi rasionalitasnya. Muncullah egoisme dalam beragama. Namun sekali lagi, membicarakan keyakinan agama sama dengan membicarakan belantara ruang yang nyaris tidak bertepi.
Itulah yang kita rasakan dalam soal memandu moderasi beragama bagi masyarakat yang berbeda keyakinan, berbeda mazhab, perguruan, dan berbeda organisasi.
Kunci kata yang dapat dipakai dalam memahami perbedaan keagamaan adalah keyakinan pribadi plus pengakuan keberadaan keyakinan orang lain. Kunci kata ini tidak mudah diterapkan. Pengakuan keberadaan keyakinan keagamaan orang lain bukan dimaknai sebagai pengakuan kebenarannya berdasar keyakinan pribadi.
Keyakinan keagamaan pribadi ditanamkan melalui pengkajian terhadap doktrin agama itu sendiri secara objektif. Meski ada kesamaan unsur-unsur suatu agama (Tuhan/yang dipertuhan, ritual, tradisi/akhlak, dan keyakinan terhadap hari akhir/pembalasan), setiap orang secara subjektif memupuk keyakinan keagamaannya dengan berbagai tradisi, baik secara ketat atau longgar. Terkadang tradisi ini menjadi persoalan baru dalam bingkai toleransi, muncullah terminologi bid’ah dan lalin-lain. Keyakinan keagamaan dibungkus pula oleh organisasi/lembaga keagamaan. Terkadang baju organisasi ini melenyapkan substansi keyakinan keagamaan yang sebenarnya memiliki dimensi yang lebih luas dari baju organisasinya. Organisasi seakan menjadi agama baru, yang semestinya organisasi hanya sebatas sarana untuk memperluas dan memperdalam kajian keagamaan dan pengabdian bukan sebaliknya, organisasi menutup peluang pengembangan pemahaman keagamaan seseorang.
Muncul pula keyakinan keagamaan yang terdinding oleh subjektifitas guru. Agama menjadi terbatas oleh seorang mentor dengan dasar relasi kuasa. Beragama bagai orang buta yang tergantung pada pemegang tongkat. Fanatisme beragama muncul bahkan dalam bentuk yang sangat ektrim.
Tiga dinding ini (tradisi, organisasi, dan mentor) bisa jadi sangat tebal dan menutup rapat semua penglihatan keagamaannya, sehingga beragama alih-alih membebaskan seseorang dari belenggu selain Tuhan, terperangkap dalam perbudakan diding yang memenjarakan.
Membebaskan diri dari selain Tuhan itulah makna kalimah tauhid, “Tidak ada yang dipertuhankan selain Allah”. Kalimat yang didahului oleh peniadaan (nafyi) lalu ditegaskan (itsbat) dengan kata penuhanan hanya kepada Allah. Kalimah Tauhid membawa manusia ke dalam kebebasan sekaligus keterikatan. Bebas dari selain Allah, terikat hanya kepada Allah. Inilah pangkal dari keikhlasan. Oleh itu, Surah pendek yang menegaskan keesaan Allah disebut dengan surat al-Ikhlash.
Pengakuan terhadap keberadaan keyakinan keagamaan orang lain bukan berarti mengakui kebenaran keyakinannya. Kebenaran agama, sekali lagi, bersifat subjektif dalam perspektif berbagai penganut agama. Pengakuan keberadaan itu berfungsi untuk menjadi sebuah upaya memperhatikan dan memahami. Dengan dasar rasionalitas bahwa setiap doktrin agama memiliki logika-logika positif, setiap agama dapat saling menyapa, saling mencerahkan, dan saling berlomba dalam kebaikan. Li ta’arafuu dimaknai sebagai saling memproduk kemakrufan atau kebaikan yang menjadi identitas keayakinan keagamaan masing-masing.
Melalui pengakuan keberadaan keyakinan keagamaan orang lain, akan terjalin saling pemahaman dan pengertian, meski soal keyakinan kebenaran agama tetap menjadi subjektifitas masing-masing. Semoga.