PERLUNYA MODERASI BERAGAMA
Oleh: Supian Sauri
Indonesia merupakan negara demokrasi, yang mana perbedaan pandangan dan pendapat sering terjadi. Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke memiliki keberagaman agama, suku, etnis, jenis kelamin, dan budaya yang berbeda-beda. Dalam hal beragama, negara ini memiliki peran menjamin keamanan masyarakat untuk memeluk dan menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing. Dalam pengamalan ajaran agama sudah semestinya dilakukan secara moderat dengan mengedepankan persaudaraan dan kesatuan.
Kailani dan Ikhwan (2021) yang dikutip dari survey PPIM UIN Syarif Hidayatullah menyatakan sebagian besar pelajar (58,50 %) memiliki pandangan keagamaan radikal sejak di bangku sekolah. BNPT (2017) menemukan bahwa gejala radikalisme sudah mulai menyebar di kalangan mahasiswa, yakni 39% mereka tertarik untuk masuk ke organisasi radikal. Sedangkan riset yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud, 2017) menyimpulkan bahwa intoleransi terhadap praktik keagamaan lain mencapai 57,6%. Hal ini menunjukkan masih ada masyarakat yang beranggapan bersikap moderat berarti tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agama. Menurut Sirajuddin (2020) Moderasi yang berasal dari kata moderatio yang berarti pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Moderasi beragama dapat diartikan sebagai sikap, cara pandang, dan praktik beragama dengan prinsip adil dan berimbang guna membangun kemaslahatan umum.
Dengan sikap moderasi beragama seseorang tidak berlebih-lebihan dalam beragama dan tidak ekstrem. Ekstrem disini maksudnya ekstrem dalam meyakini secara mutlak kebenaran satu tafsir teks agama dan menganggap sesat penafsir selainnya maupun ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama. Hal ini menjadi problematika dalam pengamalan moderasi beragama. Moderasi juga dikenal dalam berbagai tradisi agama. Tradisi agama Islam dikenal Islam Wasathiyah. Dalam tradisi Kristiani dikenal dengan Golden Mean. Dalam agama Budha disebut dengan Majjhina Patipada. Dalam tradisi agama hindu dikenal dengan istilah Madyhamika, dan dalam agama Konghucu dikenal dengan sebutan Zhong Yong. Semua istilah diatas mengacu pada satu istilah yang sama, yakni memilih jalan tengah dan tidak berlebih-lebihan dalam beragama.
Agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu telah sempurna yang didalamnya mengajarkan keadilan dan keseimbangan. Melainkan cara penganut agama dalam menjalankan agama yang perlu di moderasi. Dengan kata lain agama itu telah sempurna dan tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas namun tidak sedikit orang yang menjalankan perintah agama malah menjadi ekstrem. Seorang moderat wajib memiliki pendirian teguh dan semangat beragama yang tinggi namun ia wajib memilah mana pokok ajaran agama dan dimana ia harus berpendirian teguh, mana tafsir ajaran agama dan dimana ia perlu toleran, menghormati pendirian orang lain, dan tidak menyalah-nyalahkan. Moderasi beragama diperlukan karena sikap ekstrem dalam beragama, yakni tidak sesuai dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama agama juga bisa menimbulkan konflik, rasa benci, intoleransi, bahkan peperangan yang memusnahkan peradaban. Sikap-sikap seperti itulah yang perlu dimoderasi. Moderasi beragama merupakan upaya mengembalikan pemahaman dan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, yakni beragama untuk menjaga harkat, martabat, dan peradaban manusia (Mustaghfiroh, 2022). Agama tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang justru merusak peradaban sebab sejak diturunkan agama pada hakikatnya untuk membangun peradapan itu sendiri.
Terdapat beberapa indikator untuk mengetahui moderasi beragama pada seseorang, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan penghormatan kebudayaan lokal. Maka penguatan moderasi beragama sangat penting. Pemahaman pengamalan nilai agama yang baik dapat menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tentram, damai, inklusi, dan toleran. Moderasi beragama dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan dimana setiap warga masyarakat apapun agama, suku, etnis, jenis kelamin, budaya, pilihan politik harus mau saling mendengarkan satu sama lain sehingga kita dapat saling merawat dan menghormati keberagaman bangsa yang merupakan rahmat Tuhan. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat diatas menegaskan manusia diciptakan memang dalam keadaan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dalam arti berbeda-beda. Namun, perbedaan ini harus dimaknai dalam arti yang luas dengan sikap moderasi beragama yang mengedepankan persaudaraan, persatuan, dan kesatuan bangsa.