Lapangan Setengah Miliar
Oleh: M. Yulian Ma’mun, Lc.,MM.
Bis rombongan FEBI UIN Antasari merayap perlahan memasuki kampus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Jalannya bis tidak terlalu mulus, mengingat jalan terbuat dari paving block sehingga agak geronjolan. Meski demikian, jalan dari batako yang tersusun ini relatif lebih ramah lingkungan karena efektif menyerap air. Jalan pun berpotensi lebih awet.
Mahasiswa tidak banyak wara-wiri, mungkin karena kami tiba saat jam perkuliahan. Saya dan beberapa teman harus berdiri, untuk melihat pemandangan sekeliling lebih jelas. Area yang kami masuki adalah Kampus Terpadu UII di Kaliurang, utara Yogyakarta. Jika cuaca cerah, dari kampus dengan luas lebih dari 35 hektar tersebut, gunung Merapi dapat terlihat jelas berdiri digdaya. Masih ada 4 kampus lain yang tersebar di beberapa penjuru DIY.
Salah satu fasilitas yang mencolok mata saya adalah lapangan sepakbola yang kinclong dan licin seperti karpet. Kampus yang memiliki gedung menjulang sudah banyak di Indonesia, tapi yang memiliki lapangan bola bertaraf elit, tidak begitu jamak. Informasi yang kami dapatkan dari berbagai sumber, pembangunan lapangan itu sedikitnya menelan biaya setengah miliar Rupiah.
Kunjungan FEBI UIN Antasari ke Yogyakarta di awal November 2022 adalah bentuk kegiatan benchmarking ke beberapa perguruan tinggi terkemuka di sana. Benchmarking ini bertujuan mengambil pelajaran dari entitas/institusi yang dianggap lebih baik, untuk dapat diterapkan di organisasi FEBI. Selain ke UII, FEBI juga berkunjung ke Universitas AMIKOM, yang juga berada di kota pelajar.
Rombongan kami diterima oleh Wakil Dekan Bidang Sumber Daya Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Dr. Nur Kholis. Beliau menjelaskan bahwa perputaran uang selama setahun akademik di kampus tersebut mencapai Rp. 600 Miliar Rupiah. Ya, enam ratus miliar yang jumlah angka nolnya ada sebelas.
Ijtihad ekonomi perwakafan
UII adalah perguruan tinggi yang berada di bawah Yayasan Badan Wakaf UII (YBW). Lebih tepatnya YBW mempunyai tiga kegiatan utama, yakni: pendidikan (dengan UII sebagai perguruan utamanya, disamping lembaga pendidikan lain), pengembangan usaha, dan pemberdayaan masyarakat. YBW mengelola beberapa usaha berbasis wakaf produktif untuk pendukung operasional lembaga pendidikannya seperti beberapa unit Rumah Sakit, SPBU, Apotik, Hotel, hingga lembaga keuangan. Pak Nur Kholis mengatakan bahwa hasil dari unit bisnis tersebut memang belum bisa menutupi seluruh biaya operasional, tapi paling tidak bisa membantu berjalannya aktivitas pendidikan di UII.
Sepulang dari UII, saya berdiskusi dengan rekan-rekan serombongan yang lain. Banyak hal yang berputar di kepala kami. Apakah wakaf produktif itu dapat diterapkan di kampus kita? Bagaimana memulainya? Man yu’alliqul jaras, siapa yang akan menginisiasi? Apakah ternyata sudah ada usaha ke sana, namun gaungnya tenggelam? Dan berbagai perbincangan lain.
Pengelolaan aspek ekonomi wakaf misalnya seperti wakaf produktif dan wakaf tunai merupakan hal ijtihadiyah sebenarnya sudah banyak dibahas para cendikiawan kita. Masalah hukum syariat dan khilafiah perwakafan juga dikhatamkan oleh pada akademisi UIN. Berbagai pendapat ulama dan intelektual tak ketinggalan dikutip—bahkan dikritisi— di segala jurnal ilmiah. Yang belum terlaksana adalah penerapannya. “Easier said than done” seperti yang sering dibilang oleh orang bule. Lebih bicara dibanding melaksanakan.
Kampus di Barat seperti Oxford, Harvard, atau Stanford, eksis hingga saat dengan skema yang mirip-mirip wakaf berupa dana abadi (endowment). Guna menjaga agar dana itu tetap lestari, contohnya, Oxford mengalokasikan dana miliaran pounsterling itu dalam bentuk berbagai instrumen investasi seperti private & public equity, properti, kredit, hingga surat berharga.
Mungkin perlu waktu untuk mencapai apa yang telah diraih oleh UII atau Oxford. Tapi semua prestasi besar, berawal dari tindakan kecil. Semoga kita bisa bisa sedikit-demi sedikit berbuat ke arah wakaf produktif, lebih dari sekadar nawaitu.