Sejarah
Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag.
Program studi sejarah di beberapa perguruan tinggi, menurut statistik jumlah mahasiwa baru melalui SNMPTN, termasuk prodi yang “langka peminat”. Mungkin sama dengan prodi filsafat, kajian sejarah memerlukan energi dan kemampuan mahasiswa dalam hal daya serap dan daya ingat yang nyaris sempurna. Namun, sebagaimana filsafat, kajian sejarah sangatlah penting. Sejarah mengilhami kita tentang masa depan yang harus dipersiapkan sejak sekarang. Lensa sejarah dapat mengedit dan memotret masa depan agar tampil lebih cantik. Pemahaman yang baik terhadap sejarah memberi makna holistik terhadap suatu peristiwa. Sejarah memberi kepastian tentang bagaimana hukum sosial (sunnatullah dalam sejarah) bekerja.
Sejarah dalam bahasa Indonesia berasal dari kata syajarah (pohon). Kata ini dimaksudkan sebagai peristiwa masa lalu, terutama yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Mungkin karena peristiwa masa lalu itu diceriterakan secara sistematis dan rinci dari berbagai segi bagaikan potret sebatang pohon yang menjulang, sehingga hal itu disebut dengan syajarah. Namun, Al-Quran saat membeberkan peristiwa masa lalu tidak menggunakan kata tersebut, tetapi diungkapkan dengan kata qishshah (Indonesia: kisah), bentuk tunggal dari qashash, seperti dalam ayat 3 surat Yusuf.
Secara lugawi, antara sejarah dan kisah terdapat perbedaan. Kata “sejarah” lebih bermakna peristiwa, sedangkan kisah bermakna sebagai kejadian yang dapat berulang sama. Oleh karena itu, dalam fikih pidana, hukuman setimpal disebut dengan qishaash, satu akar kata kata qishshsah. Demikian pula memotong kumis dalam hadits Bukhari 5440 dan 5441 diungkapkan dengan kata qashshu syaarib karena kumis yang dipotong akan kembali tumbuh seperti semula dalam rentang masa tertentu. Jadi kisah bermakna suatu pristiwa yang dapat berulang dimasa mendatang. Dengan demikian, kisah tidak dapat diremehkan, dia harus menjadi alarm unutk masa sekarang.
Sejarah dalam Al-Quran juga sering disebut dengan ibrah, seperti dalam surah Yusuf ayat 111. Kata ‘ibrah secara bahasa berarti menyeberang, melintasi. Kata ini menunjukkan bahwa sebuah peristiwa sejarah tidak mudah dapat dipahami makna objektifnya; memerlukan analisis dan kajian mendalam seperti layaknya menyeberang dan melintasi suatu wilayah yang memerlukan energi dan ketekunan. Sejarah suatu sistem ekonomi yang membawa kehancuran peradaban misalnya, harus menjadi pelajaran bagi kajian-kajian filosofis bidang ekonomi.
Ada hal menarik saat kita membaca sejarah yang diuraikan Alquran. Kitab suci terakhir ini hampir tidak pernah menyebutkan soal tanggal dan tempat terjadinya peristiwa, bahkan nama pelakunya juga disembunyikan. Fir’aun, misalnya bukan nama seseorang, tetapi sebutan untuk sebuah rezim yang berkuasa, manusia-manusia setengah dewa. Nama-nama “Penghuni Goa” dalam surah al-Kahfi tidak disebutkan. Pemilik ilmu laduni yang menjadi guru Nabi Musa juga tidak dinyatakan namanya, kecuali hanya derajatnya. Penjelasan Al-Quran lebih fokus pada inti pesan dari kisah yang diuaraikan, yakni hukum sosial yang mendasari dan sekaligus memberi arti aktivitas manusia.
Hukum sosial dalam sejarah disederhanakan Al-Quran menjadi dua saja. Pelaku kebaikan akan mendapat limpahan kebajikan; sebaliknya pelaku kezaliman akan mendapat yang setimpal. Mungkin dapat kita tambahkan satu lagi: pembuat dosa dapat saja berubah menjadi pribadi penuh karamah sepanjang kemauannya untuk bertobat.
Para Nabi dan Rasul adalah tokoh-tokoh sentral dalam untaian kisah yang disajikan dalam Al-Quran. Setiap pribadi Nabi dan Rasul yang ditampilkan sebagai ikon kisah memiliki berbagai perspektif. Ceritera kelahiran Nabi Musa, misalnya memiliki perspektif kuasa Tuhan dalam membangun skenario menghadapi kebijakan zalim dari Fir’aun. Kisah Nabi Musa sejak pelarian, menolong dua anak gadis, hingga perkawinan dan rumah tangganya, sebuah kisah kehidupan yang tidak kalah menariknya dibanding ceritera romantika Nabi Yusuf. Kisal Nabi Ibrahim yang berkelana untuk menyampaikan dakwah tauhid dari Selatan Irak hingga Mesir dan Mekkah memberi isyarat bahwa kebenaran akan tumbuh melalui tunas-tunas yang ditancapkan penuh perjuangan. Dan banyak lagi.
Jadi, untuk memotret sesuatu, kita harus belajar melalui media sejarah. Mungkin itulah juga kenapa salah satu pidato proklamator kita diberi judul Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Sejarah, kisah, ibrah adalah cermin.