Makhluk Rohani
Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag
Ramadan 1444 H baru berlalu. Apa yang paling nyata saat Ramadan tiba, jawabannya adalah di siang hari tidak boleh makan dan minum, di malam hari mengurangi tidur, dan di sepuluh akhir Ramadan dianjurkan hidup dalam sujud (i’tikaf). Tujuan dari tiga hal tersebut kalau kita simpulkan adalah melatih manusia dalam kehidupan rohani, hidup tanpa menurutkan hajat jasmani.
Memang apa gunanya hidup ala rohani. Kehidupan ala rohani sangatlah penting untuk keseimbangan. Sejak kecil, bahkan sejak embrio, manusia selalu hidup dalam kalkulasi fisik, dari soal gizi, kalori, vitamin, mineral, timbangan berat badan, tinggi badan seimbang, pencegahan stunting, hingga vaksinasi dan imunisasi. Semuanya soal-soal fisik jasmani. Oleh Allah, melalui Ramadan, semua itu dicoba putar balik. Dilarang makan dan minum di siang hari, mengurangi tidur di malam hari, dan mengubah tempat tinggal dari rumah ke masjid. Ada juga orang yang memahami bahwa di malam hari, sejak magrib hingga fajar, dibebaskan makan dan minum. Dalam kaidah bahasa, suatu izin setelah larangan bermakna pembatasan. Jadi tidaklah benar, makan dan minum dapat bebas setalah bedug berbunyi. Berbuka dengan menu sederhana, tidak sampai kekenyangan. Itulah keinginan Ramadan.
Hidup rohani adalah pengutamaan aspek-aspek batini dari manusia. Aspek esoterik manusia jauh lebih luas dan eksoteriknya. Ada akal yang berfungsi mengurai, menganalisis, dan menyimpulkan. Kata ‘aql dalam bahasa Arab merarti ikatan. Ada nafsu yang membuat manusia berkembang melalui keinginan-keinginannya yang sangat varian, fluktuatif, dan dinamis. Ada bashirah sebagai mata hati yang sangat tajam melihat sesuatu secara mendalam. Ada qalb yang menggerakkan kehidupan. Ada ruh sebagai penyambung antara alam lahir (nasut) dan alam ilahi (lahut). Semua potensi itu ada dalam dunia metafisik dan mempengaruhi fisik (sikap dan prilaku). Nabi mengatakan “…takukah kalian tentang segumpal darah yang sangat menentukan… itulah hati”.
Hidup rohani dimulai dengan persepsi terhadap segala sesuatu dengan mata keilahian. Segala yang ada adalah ayat Tuhan. Termasuk saat melihat diri sendiri. Semua yang maujud adalah tanda adanya Tuhan. Dalam Al-Quran begitu banyak frase yang menjelaskan hal ini. “Kemana saja kamu menghadap, di sana ada wajah Allah” (Al-Baqarah: 115). “Kami perlihatkan tanda-tanda Kami di seluruh penjuru…” (Fushshilat: 53).
Hidup rohani selalu memandang sesuatu dengan mata batin yang melebihi mata zahir. Mata zahir akan terbatas pada kemampuan objek mengirim cahaya ke bola mata. Mata batin mengirim cahaya ke semua arah. “Bukanlah engkau yang melepaskan anak panah saat memanah, tetapi Allah lah yang sebenarnya memanahnya” (Al-Anfal: 17). Hidup rohani bukan bermakna fatalism, tetapi memaknai segalanya sebagai izin dari Tuhan. Manusia hanya berusaha, Tuhan yang menentukannya.
Karen Amsrtong, pakar perbandingan agama, dalam salah satu buku barunya, Sacred Nature: Restoring Our Ancient Bond with the Natural Word menjelaskan bahwa hanya dengan pandangan bahwa manusia dan alam punya keakraban spiritual dan bahwa agama apapun selalu menghormati alam yang merupakan “bagian” dari Tuhan itu sendiri, keharmonisan kehidupan manusia dengan semua ciptaan akan dapat berjalan seimbang.
Berpuasa melatih melepaskan belenggu materi yang memenuhi hajat-hajat fisik untuk mengasah ketajaman mata batin. Semoga kita dipertemukan lagi dengan Ramadan tahun mendatang. Sementara Ramadan belum tiba, puasa-puasa sunnah dapat menjadi pilihan untuk kontinuitas latihan. Semoga.