Generasi Bilah Lidi yang Hilang (2)
Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)
Kalimat “Generasi Bilah Lidi” yang menjadi judul tulisan ini sejak minggu yang lalu, saya ambil dari alur ceritera sekolah Muhammadiyah yang hampir rohoh versus Sekolah Swasta yang dikelola Perusahaan Timah di Bangka Belitung, seperti dalam novel Laskar Pelangi Andrea Hirata. Bilah lidi adalah alat berhitung sederhana yang dibuat dari lidi daun kelapa. Biasanya berjumlah seratus dan wajib dimiliki semua siswa sekolah dasar masa lalu. Bilah lidi tersebut digunakan untuk belajar proses operasi hitung: tambah, kurang, kali, bagi dan jumlah.
Keunggulan alat hitung tradisional ini dibanding mesin hitung elektronik (kalkolator) adalah pada pembelajaran pengenalan proses operasi hitung secara manual. Melalui alat sederhana, semua anak belajar proses dan hasil, bukan hasil saja. Melatih kecermatan, kegigihan, dan kesabaran anak dalam kreativitas dan mengambil kesimpulan. Oleh karena itu, seperti pada artikel minggu lalu, tokoh Mahar mampu mengungguli prestasi sekolah modern saat itu.
Berbeda dengan Mahar, si Lintang anak keluarga tidak mampu yang sangat cerdas. Saat mendaftar sebagai siswa, anak-anak calon siswa yang lain menyindirnya sebagai anak bau hangus. Maklum dia dan orang tuanya datang ke sekolah untuk mendaftar dari tempat yang jauh, bersepeda pancal di bawah terik matahari. Dia pergi ke sekolah naik sepeda mengarungi lembah dan ngarai yang sepi dan berbuaya. Tidak jarang, tiba ke sekolah dalam keadaan terlambat karena diperjalanan kadang menjumpai hujan atau di sambang binatang buas, buaya.
Belum tamat di sekolah dasar tersebut, ayahnya yang berprofesi sebagai nelayan miskin hilang diterjang ganasnya gelombang laut. Lintang menjadi siswa SD sekaligus sebagai pengganti ayah untuk adik-adiknya. Kondisi ini menyebabkan sekolahnya terhambat. Dalam seminggu pasti ada hari yang absen untuk dapat hadir belajar.
Suatu ketika, karena beberapa haru tidak hadir ke sekolah, teman-temannya berinisiatif menjenguknya. Alangkah terkejutnya, mereka menemukan Lintang sedang memberi makan adiknya.
Meski demikian, ia terus belajar dan membaca, meski hanya dari sepotong koran pembungkus nasi. Dengan kecerdasannya, dia dapat menjadi anggota tim juara cerdas cermat SD se Kecamatan Gantong, Belitung kala itu. Dia juga yang menginspirasi dan membimbing teman-temanya yang berjumlah 10 orang agar tetap belajar saat Ibu gurunya, bu Muslimah, suatu hari batal hadir mengajar karena sangat berduka dengan kematian Sang Kepala Sekolah, Pak Harfan. Akhirnya… Lintang yang sangat dibanggakan oleh teman-temanya terpaksa harus berhenti sekolah karena keterbatasan kehidupan keluarganya. Ia dilepas oleh teman-temannya dengan uraian air mata. Ia, meski masih anak-anak harus melaut dan kadang menjadi kuli untuk menghidupi adik-adiknya. Dia berujar, meski saya putus sekolah, kau wahai adikku harus lebih sukses dari aku.
Banyak pelajaran bagi generasi kalkulator dari sosok Lintang dalam novel karya Andrea Hirata ini. Gigih, sabar, tawakkal mungkin tiga kata yang dapat mewakilinya. (Bersambung)