Alam Perguruan Tinggi

Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)

Tahun 1985, Banjarmasin bagi orang kampung di pinggiran Hulu Sungai Tengah, seperti saya, masih dibayangkan sebagai dunia yang sangat berbeda. Apalagi dunia yang disebut dengan “perguruan tinggi”, “kuliah”, dan “mahasiswa”.  Namun, dengan tujuan agar dapat merasakan dunia baru, akhirnya setiap anak desa pinggiran sampai juga ke Banjarmasin untuk kuliah. Sebagai lulusan Pendidikan Guru Agama, saat masuk ke Fakultas Syariah Jurusan Tafsir Hadits, saya agak bingung, tetapi dengan rasa antara sadar dan terpaksa, proses perkuliahan akhirnya semester demi semester dapat dilalui. Syukurnya, saya dapat merasa satu nafas dengan sebagian besar para dosen yang pada waktu itu rata-rata sarjana yang pernah mengecap pendidikan pondok pesantren. Membaca kitab kuning sebagai referensi adalah pemandangan setiap hari. Bahkan, ada sebagian dosen yang memberi kuliah lesehan di rumahnya. Cukup berkesan, karena beliau mengajar sekaligus memberi suguhan snack. Dapat asupan lahir dan batin, gurau kawan seperjuangan.

Ternyata, perguruan tinggi itu adalah wadah bertemunya antara orang yang penuh harapan dan imajinasi (mahasiswa) dengan manusia yang penuh gagasan dan teori (dosen). Dari pertemuan dialogis itulah lahir berbagai ide, gagasan, bahkan teori yang dapat mengubah pikiran dan nasib, hingga menjadi lebih maju.

Mahasiswa memang penuh dengan harapan dan imajinasi. Harapan yang diukir oleh keluarga yang mengutus dan mebiayainya. Mereka berharap kelak agar anaknya menjadi manusia berilmu dan berguna. Setiap orang tua pasti bercita-cita agar anaknya mencapai derajat yang lebih baik. Meski belum tentu tepat, para petani di desa bekerja keras untuk membiayai anaknya kuliah berharap agar anaknya tidak menjadi petani.  Semua harapan itu diproses dalam alam perguruan tinggi. Kuliah memberi wawasan keilmuan dan memperluas pergaulan. Berbagai kegiatan kemahasiswaan juga melengkapi keterampilan kepemimpinan.

Dosen dengan segala kelebihannya memberi motivasi, memberi teladan, dan memberi wawasan ilmu pengetahuan. Dosen dengan prilaku ilmuannya dan hidup di bawah sinar cahaya ilmunya memberi ilham kepada mahasiswa bahwa hidup harus dijalani dengan ilmu untuk mencari rida Tuhan. Masyarakat kampus adalah dunia pergaulan ilmu, civitas akademika, warga akademik. Dalam dunia akademik, orientasi semua warganya (dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa) adalah ilmu. Oleh karena itu, sebelum dunia digital semarak dan menentukan segalanya, perpustakaan adalah jantung perguruan tinggi.  Perpustakaan adalah tempat bersemayamnya ilmu pengetahuan.

Imajinasi dan berapi-api, karena usia mudanya, menjadi ciri kehidupan mahasiswa. Mereka berada dalam usia peralihan dari masa remaja menuju dewasa. Ibarat pohon, mahasiswa mulai bercabang dan beranting dan siap berbuah untuk dipanen pemiliknya. Diusia mahasiswa, rasa ingin tahu selalu menggebu. Mungkin itulah sebabnya, di UIN Antasari sering terjadi demonstrasi untuk menuntut sesuatu yang oleh orang dewasa terkesan sebagai kegiatan kurang beralasan. Akan tetapi, apapun yang terjadi, dunia mahasiswa penuh dinamika, penuh magnit, bahkan penuh dengan romantika.

Energi besar yang dimiliki dunia mahasiswa itulah, bila dikelola dan dikembangkan dengan baik, akan dapat menjadi peledak dahsyat yang mengawali suatu perubahan. Tidak sedikit mahasiswa yang berasal dari kampung yang jauh, berperilaku lugu, tertutup, pada saat disentuh oleh dunia perguruan tinggi, mereka berubah dan berkembang menjadi orang hebat. Kehausan pengetahuan yang dirasakan mahasiswa disahuti dengan telaga ilmu yang dimiliki para dosen. Kekeringan pergaulan dibasahi oleh hujan dunia aktivis. Jadilah mereka tunas-tunas muda yang menghijaukan taman peradaban.

Untuk mewujudkan itu semua, kebijakan/aturan yang dirumuskan, program yang diunggulkan, dan keteladanan adalah menjadi taruhannya. Setiap pimpinan, setiap dosen, setiap tenaga kependidikan adalah pelayan bagi mahasiswa untuk menyahuti imajinasi dan dinamika dunia mahasiswa. Cepat atau lambat, suatu saat para penanam pasti akan melihat dan memanen hasilnya. Pepatah Arab mengatakan “man zara’a hashada”