Tak Ada SWIFT, CIPS Pun Jadi
Tak Ada SWIFT, CIPS Pun Jadi
Oleh: Rimayanti
Orang bilang bahwa sejarah akan mengulang dirinya sendiri (history will repeat itself). Setelah mengalami masa- masa pandemi COVID-19 yang berat, dibarengi pula oleh jatuhnya perekonomian semua negara, seolah mengulang kaset yang sama, tiba- tiba terjadi perang Rusia – Ukraina. Dulu, wabah Flu Spanyol (Spanish Flu) yang mengakibatkan depresi besar (the great depression) terjadi sebelum meletusnya Perang Dunia II, dengan jarak sekitar 20 tahun. Jadi para generasi milenial yang hidup di era sekarang sudah mengalami 3 peristiwa besar yang sebelumnya juga pernah terjadi beberapa abad sebelum mereka menjadi zigot. Tapi hebatnya, kami mengalami ketiga peristiwa besar itu hanya dalam waktu 3 tahun. Amazingyah bestie.
Habis invasi, terbitlah sanksi
Selayaknya memang semua tindakan pasti punya konsekuensi. Terlepas dari berbagai argumen untuk menjustifikasinya, perang seharusnya tidak menjadi langkah yang diambil mengingat yang jadi korban bukanlah mereka yang memutuskan perang itu, tapi orang- orang biasa yang keinginannya hanyalah hidup normal dan berbahagia. Begitu pula yang terjadi dalam konflik Rusia – Ukraina ini, yang jadi korban tentu saja masyarakat sipil, di mana UNHCR mencatat bahwa jumlah pengungsi sudah mencapai lebih dari 2 juta orang dan menjadi peristiwa eksodus tercepat di abad millennium setelah peristiwa Perang Dunia II, di mana hanya perlu waktu kurang dari 2 minggu untuk mencapai angka tersebut.
Invasi ke sebuah negara yang berdaulat tentu melanggar banyak hukum internasional, sehingga sah jika kemudian dijatuhi sanksi. Begitu pula dengan Rusia, ada banyak sekali sanksi yang diberikan mulai dari sanksi administratif hingga embargo. Bahkan Rusia sudah mengalahkan Iran sebagai negara penerima sanksi terbanyak. Iran awalnya merupakan negara penerima sanksi terbanyak karena proyek nuklirnya yang “dianggap membahayakan” dengan 3.616 sanksi internasional per bulan Maret 2022 ini, sementara Rusia yang sudah menerima 2.754 sanksi sejak mencaplok Crimea di tahun 2014 lalu kini mendapat tambahan 2.778 sanksi, sehingga total ada 5.532 sanksi yang mereka terima akibat invasi ke Ukraina ini (www.castellum.ai).
Jenis sanksi yang diberikan untuk Rusia juga beragam, jika sejak tahun 2014 kebanyakan sanksi yang mereka terima asalnya dari Amerika Serikat, namun di tahun 2022 ini berasal dari seluruh dunia. Berikut adalah jenis sanksi yang dikenakan bagi Rusia menurut situs AFP (https://www.afp.com/en/news-hub) :
- Aset bank sentral Rusia dibekukan
- Kehilangan akses ke akun keuangan Eropa
- Penundaan proyek pipa gas Nordstream 2 oleh Jerman
- Pembatasan ekspor ke Rusia
- Pembatasan transportasi laut dan udara
- Penarikan total atau sebagian aktivitas perusahaan minyak (British Petroleum, ExxonMobil, Eni, Equinor)
- Penundaan proyek atau penundaan operasional (Boeing, Apple, Disney, Spotify, Visa, Mastercard, Warner Media, Daimler Truck, H&M, Volvo Group, Ford, General Motors)
- Perbankan Rusia kehilangan akses SWIFT
Jika poin- poin sanksi tersebut kebanyakan berdampak pada sektor keuangan dan industri besar, poin terakhir ini yang menjadi perhatian masyarakat luas karena dampaknya yang langsung dapat mereka rasakan. Jadi apa itu SWIFT?
SWIFT or SPFS anyone?
SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications) atau dalam Bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai Masyarakat Antar- Bank Seluruh Dunia untuk Telekomunikasi Keuangan. Hingga saat ini ada sebanyak 11.000 lembaga jasa keuangan yang berasal dari 200 negara yang menjadi pengguna jaringan SWIFT untuk transaksi keuangan internasional yang cepat dan aman. Di Indonesia sendiri ada sekitar 45 bank juga terhubung dalam jaringan SWIFT ini, di antaranya seperi BCA, BNI, BRI, Mandiri, dll.
Nah lalu bagaimana sebenarnya cara kerja SWIFT? Ilustrasi singkatnya misalnya seperti ini: Lunces ingin transfer sejumlah uang dari rekening BCA miliknya di Indonesia kepada temannya bernama Boriel yang tinggal di Amerika dan menggunakan rekening Bank of America. Alurnya akan jadi seperti ini:
Lunces -> SWIFT -> Bank of America -> Boriel
SWIFT akan berperan sebagai perantara yang mengantarkan pesan transaksi dari BCA kepada Bank of America, bahwa ada sejumlah dana atau transaksi yang perlu diproses oleh kedua bank ini. Singkatnya, SWIFT akan memberikan kode transaksi berupa kode unik yang terdiri dari beberapa huruf yang diwajibkan ada untuk melakukan transaksi transfer uang dari luar negeri ke dalam negeri, dan sebaliknya. Jaringan SWIFT yang memiliki kantor pusat di Belgia ini awalnya menciptakan kode transaksi guna menyiasati kerumitan yang terjadi di dalam pertukaran informasi perbankan di seluruh dunia. SWIFT juga berperan untuk mengurangi risiko operasional, menekan besaran biaya, serta mengoptimasi dan menstandarisasi transaksi keuangan yang terjadi antar negara (https://www.cermati.com/artikel/mengenal-kode-swift-bank-dan-fungsinya-dalam-transaksi-keuangan).
Sejak pemblokiran akses SWIFT, para warga negara Rusia tidak bisa lagi melakukan kegiatan transfer antar negara, kartu kredit mereka ditolak, sehingga warga negara Rusia yang ada di luar negeri tidak bisa melakukan pembayaran apapun menggunakan kartu debit dan kartu kredit mereka. Bagi pekerja Rusia di luar negeri, mereka tidak bisa mendapat bayaran lewat bank. Dampak bagi sektor keuangan dan bisnis lebih dahsyat lagi, di mana pemblokiran akses SWIFT akan membatasi akses bank-bank Rusia ke aliran uang global, sehingga mempersulit bisnis untuk melakukan kegiatan ekspor impor, atau untuk membiayai diri mereka sendiri dari luar negeri.
Tapi, apakah pihak Kremlin sudah memperhitungkan risiko ini? O tentu saja sudah. Meski diblokir dari akses telekomunikasi sistem keuangan global, Rusia ternyata jauh- jauh hari sudah melakukan persiapan dengan membangun sistem telekomunikasi antar bank sendir. Sejak tahun 2014, di mana sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat telah membatasi akses Rusia ke lembaga keuangan mereka, pihak Rusia sendiri sudah membuat jaringan telekomunikasi antar bank internasional yang diberi nama SPFS atau Sistema Peredachi Finansovykh Soobscheniy (Inggris:System for Transfer of Financial Messages) yang melibatkan bank Rusia dan beberapa bank milik China dan negara lain seperti India, Iran, Armenia, Belarus, Jerman, Kazakhstan, Kirgiztan, Swiss, dan rencananya Turki (https://en.wikipedia.org/wiki/SPFS). Tapi memang jumlah bank yang tergabung dalam jaringan SPFS ini tergolong sedikit. Hanya ada belasan bank luar negeri dan 400 bank Rusia, yang artinya jaringan SPFS juga kurang optimal untuk menjadi solusi dikeluarkannya Rusia dari SWIFT tadi. Lalu apa alternatif lainnya? Tenang, masih ada CIPS sodara- sodara.
Dari Monopolar ke Multi-Polar
Tahun 2015 lalu, Bank Sentral China meluncurkan Cross-Border Interbank Payment System(CIPS). CIPS merupakan salah satu upaya China untuk meningkatkan penggunaan mata uangnya, Yuan, secara global terutama di antara negara- negara yang terlibat dalam mega proyek BRI (the Belt and Road Initiative), selain itu peluncuran CIPS dimaksudkan juga untuk mengurangi ketergantungan dunia terhadap penggunaan Dollar Amerika dalam transaksi global. CIPS digunakan untuk mengatur aliran dana, sementara aliran informasi dapat menggunakan jaringan CIPS atau lewat SWIFT. Kedua sistem ini memang dapat digunakan secara bersamaan, jadi bagi pengguna CIPS masih dapat pula menggunakan opsi jaringan SWIFT untuk transaksinya. Hingga tahun 2021 kemarin, jaringan CIPS sudah menangani total transaksi senilai 80 triliun yuan (setara dengan 12.68 triliun dollar), dengan jumlah member sebanyak 1.280 lembaga keuangan yang tersebar di 103 negara (https://en.wikipedia.org/wiki/Cross-Border_Interbank_Payment_System).
Jadi apakah dengan menggunakan CIPS bisa menyelamatkan Rusia dari tsunami finansial? Belum pasti, karena perkembangan CIPS sangat tergantung pada kemampuan China untuk menginternasionalisasi Yuan sebagai alat tukar. Yang jelas, CIPS terlihat menjanjikan sebagai alternatif pengganti SWIFT bagi Rusia. Here’s some reasons:
- CIPS dan SPFS bisa berjalan bersama dan saling mendukung untuk menciptakan suatu sistem telekomunikasi keuangan yang solid mengingat pengaruh geopolitik Rusia dan China juga tengah menguat. Rusia memiliki daya tawar yang kuat di Eropa karena ia berperan sebagai supplier energi utama. China juga bisa dibilang menjadi penguasa di Asia khususnya kawasan Indo- Pasifik karena ia adalah negara dengan militer terkuat, negara pemberi utang dan pemilik proyek- proyek besar di kawasan ini. Di benua Afrika, pengaruh China juga menguat seiring dengan banyaknya pembangunan infrastruktur yang digarap oleh perusahaan- perusahaan China, begitu pula dengan Rusia yang memiliki pengaruh politik yang kuat di mana salah satunya terlihat dari “bungkamnya” negara- negara Afrika dalam invasi mereka ke Ukraina kali ini serta hubungan baik Putin dengan banyak presiden di Afrika.
- Beberapa pengamat menyatakan bahwa pemblokiran Rusia dari SWIFT merupakan pedang bermata dua yang akan melukai kedua belah pihak, khususnya negara- negara Eropa. Rusia memang akan menerima kerugian karena tidak dapat mengakses jaringan perbankan, namun diyakini akan bisa bertahan mengingat mereka tidak banyak menyimpan asset dalam dollar, namun dalam bentuk emas, minyak, dan mata uang luar negeri selain dollar, sementara bagi Eropa sanksi ini juga akan menyebabkan kenaikan harga beli untuk komoditas energi (gas alam, batu bara, dll) dari Rusia, yang pada akhirnya akan menaikkan harga energi di dalam negeri mereka (https://asiatimes.com/2022/03/china-media-goads-russia-to-use-cips-over-swift/)
Berhasil tidaknya transisi Rusia dari SWIFT ke CIPS memang masih memerlukan waktu dan usaha, namun munculnya CIPS ini juga menandakan kemunculan kutub- kutub kekuatan ekonomi baru. Dari yang awalnya didominasi sepenuhnya oleh Amerika dengan Dollarnya, kini ada penantang baru berwujud China dengan Yuannya. Artinya, jaringan finansial apapun bisa menjadi alternatif, selama ada upaya yang agresif untuk mempromosikan, menyuruh, bahkan memaksa untuk menggunakannya, di samping tentu saja upaya untuk terus menerus mempercanggih sistemnya.
*disclaimer: artikel ini murni opini pribadi
Rimayanti: Dosen FEBI UIN Antasari