Tahun Baru dan Moderasi Beragama

Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)

Konten media sosial akhir tahun 2022 sangat ramai. Bukan saja komentar soal  piala dunia  sepak bola dengan Argentina sebagai juara, soal oknom polisi tembak polisi, soal desas desus kinerja KPU yang “dicurigai”, tetapi banyak lagi, informasi mengalir deras dari semua arah menyusur ke berbagai sudut bagai tsunami plus angin puting beliung.  Yang menarik bagi saya bukan hal-hal tersebut, tetapi soal konten keagamaan (Islam) yang berisi semangat mengagamakan segala hal dalam kehidupan, seakan semua dinamika kehidupan telah memiliki nash dan dalil yang qath’iy, mono tafsir.   Terkait sepak bola, misalnya, ada youtube yang berisi larangan meniru-niru dan mengidolakan seorang pemain sepak bola yang bukan beragama Islam dengan dalil “man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum”. Bagi saya ini sebuah “kemajuan” beragama yang luar biasa.

Sebagai agama, Islam mengajarkan semua hal, dari soal teologi, hukum publik, peribadatan, hingga cara bernegara. Akan tetapi, semua itu tidak diajarkan dalam bentuk praktis formalis, satu tafsir, tetapi sebagian besar, terutama untuk soal publik, dinarasikan dalam dalil yang sangat umum. Dalil-dalil umum itu terkait serta beririsan dengan  segi kehidupan sosial yang terus berubah. Meminjam istilah Ibnu Rusyd dalam pengantar karyanya “Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid”, “bagaimana membawa nash yang terbatas unutk menjawab persoalan yang terus berubah” (an-nushush tanaha ila ma laa yatanaaha). Inilah sebuah tantangan dalam memahami dan mempraktikkan agama (beragama).

Untuk  menjawab tantangan tersebut, para ulama sejak masa-masa awal, sejak era sahabat, bahkan sejak saat Nabi Muhammad masih ada,  sudah melakukan tafaqquh fiddin. Mereka dan baginda Nabi melakukan penalaran (kerja akal sehat) untuk membuat kesimpulan beragama yang tepat. Meski penalaran yang terjadi dimasa Nabi diluruskan oleh wahyu, sehingga menjadi produk wahyu, seperti kasus tawanan perang Badar (Al-Anfal: 67), namun penalaran era sahabat menimbulkan kesan dan produk metode ijtihad  yang dikembangkan pada masa berikutnya.

Kasus perang riddah  yang memantik pikiran Sayyidina Umar agar Sayyidina Abu Bakar yang menjabat khalifah saat itu (11 – 13 H) menginisiasi kodifikasi Al-Quran adalah salah contoh paling awal cara memahami dan mempraktikkan agama dalam sejarah.  Mulanya, atas dasar tidak ada perintah Nabi, Abu Bakar enggan memenuhi usul Sayyidina Umar. Namun, Umar mampu membujuk Abu Bakar dengan alasan bahwa semakin banyak penghafal Al-Quran yang syahid kemungkinan berakibat hilangnya Al-Quran. Penulisan Al-Quran yang dikodifikasi menjadi satu mushhaf adalah sangat urgen dan mendesak, demi mempertahankan eksistensi agama.

Umar ibn Al-Khattab (13 – 23 H) seorang khalifah yang sangat cerdas dan tegas melakukan banyak perubahan dalam penataan kehidupan sosial. Atas nama rasionalitas agama, Dia banyak melakukan “bid’ah hasanah”, baik dalam bidang hukum keluarga, tata pemerintahan, hingga soal pidana. Adalah Umar yang menetapkan cerai tiga sekaligus sebagai bain kubra dengan alasan soal perceraian sering dipermainkan masyarakat. Beliau juga yang tidak membagi harta rampasan perang kepada prajurit, namun para tentara diberi gajih tetap oleh Negara (al-junud al-murtazaqah). Beliau juga yang tidak menerapkan hukum potong tangan kepada pencuri yang melakukan aksinya saat musim paceklik (ayyam al-maja’). “Kebijakan-kebijakan ini menggambarkan bahwa pelaksanaan agama (beragama) bersifat sangat dinamis, tidak tergantung format, tetapi dilatarbelakangi oleh substansi.

Dengan mempelajari sepak terjang Sayyidina Umar ini saja, mungkin kita sudah dapat menjawab soalan “bolehkah memakai baju bernomor dada 10 dan bermerek bintang sepak bola Argentina, Lionel Messi” dengan tujuan sanjungan dan penghargaan atas prestasinya.    Tentu sangat boleh…