Fatwa DSN dan FEBI

Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)

Tanggal 27 September 2022 yang lalu saya berkesempatan mengikuti Worshop Pra-Iijtima Sanawi Dewan Pengawas Syariah se-Indonesia dari Lembaga Keuangan Syariah.  Acara ini rutin setiap tahun dilaksanakan sebelum ijtima sanawi (annual conference) DPS se-Indonesia. Ijtima sanawi tahun ini rencana digelar Desember 2022. Undangan saya untuk kepesertaan tersebut bukan sebagai Dekan, tetapi mewakili DPS PT BPRS Barkah Gemadana Jl. A. Yani Km. 7 Kabupaten Banjar. Namun, ternyata banyak hal yang sangat urgen bagi FEBI sebagai institusi pendidikan yang core keilmuannya adalah ekonomi Islam, terutama terkait dengan fatwa DSN yang hingga Juli 2022 sudah berjumlah 152 fatwa.

Fatwa adalah produk fikih yang menjadi salah satu rujukan dalam pelaksanaan ajaran Islam. Meski sifatnya tidak mengikat, karena bukan produk undang-undang, fatwa sering dijadikan dasar suatu negara dalam mengambil kebijakan. Demikianlah posisi fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang selama ini djadikan dasar pertimbangan pengambil kebijakan (Bank Indonesia) dalam mengembangkan ekonomi syariah di tanah air.

Selaku pengatur dan pengawas perbankan syariah, Bank Indonesia tidak memiliki legitimasi untuk merumuskan prinsip‑prinsip syariah secara langsung dalam pembentukan peraturan lembaganya.  Oleh karenanya, fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (DSN MUI) menjadi salah satu prasyarat penentu bagi pemberlakuan suatu produk pada perbankan syariah sebagaimana diamanatkan undang‑undang, sehingga keberadaan fatwa tersebut bersifat mengikat bagi pengembangan sistem operasional perbankan syariah. Dengan demikian, pemahaman terhadap fatwa tersebut wajib menjadi salah satu standar kompetensi lulusan semua mahasiswa FEBI, khususnya pada Jurusan Perbankan Syariah.

Agar lebih mudah memahami fatwa tersebut, kita lihat struktur dan peta konsepnya. Struktur fatwa DSN mirip dengan sebuah  surat keputusan, diawali dengan konsideran, dilanjutkan dengan isi, dan diakhiri dengan tarikh pemberlakuannya. Setelah kop surat yang menunjukan lembaga penerbitnya, fatwa DSN dilanjutkan dengan inisial fatwa yang terdiri dari judul dan nomor regesternya. Selanjutnya uraian tentang dalil/konsideran yang terdiri dari ayat Al-Quran, hadits Nabi, pendapat/ijma ulama, dan kaidah fikih menjadi bagian yang panjang lebar dicantumkan dalam naskah fatwa. Dalam konsideran, dicantumkan pula kajian-kajian fikih terdahulu dari para ulama, termasuk fatwa-fatwa DSN MUI sendiri yang senada. Setelah konsideran, naskah fatwa berisi pokok persoalan yang akan difatwakan. Pada bagian akhir ini, penjelasan tentang hal yang difatwakan diuraikan menyangkut hal-hal teknis yang harus ditaati dalam operasionalisasinya. Dalam hal ini, rukun, syarat, pembatal dan hal-hal teknis lainnya diuraikan secara rinci.

Naskah fatwa terlihat sederhana, namun penerbitannya memerlukan energi akademik yang sangat besar. Untuk merumuskan sebuah fatwa, kata Prof Jaih (sekretaris DSN), dilakukan diskusi, seminar, FGD, berkali-kali.

Meski jumlah fatwa DSN hingga Juli 2022 mencapai 152, peta konsep keseluruhan fatwa tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga: fatwa tentang penghimpunan dana, fatwa tentang pembiayaan, dan fatwa tentang layanan, baik pada lembaga keuangan bank atau pada institusi keuangan nonbank (ZISWA). Lembaga yang disebut terakhir ini menjadi kekhasan dalam lembaga keuangan syariah.  Ideologi ekonomi Islam memang mengajarkan kekayaan harus berfungsi untuk berbagi.