Antroposentrisme Hukum Islam (lanjutan)
Oleh: Dr. H. Sukarni, M. Ag
Fikih sebagai ikhtiar dan ihtiyat ulama menjawab persoalan hukum telah lahir sejak sepeninggal Nabi. Bahkan, di era Nabi pun telah lahir pula “ijtihad”, baik oleh Nabi sendiri maupun yang dilakukan oleh para sahabat. Berbagai ijtihad masa awal kelahiran hukum Islam ini juga menghasilkan formula/teori penetapan hukum Islam yang kemudian disebut dengan ushul fiqh. Meski ijtihad-ijtihad periode Nabi itu dilegitimasi oleh wahyu, oleh karenanya dia menjadi syariah, namun ia tercatat sebagai upaya awal manusia dalam usaha menemukan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa betapa tinggi posisi akal manusia dalam Islam yang dapat difungsikan sebagai alat untuk menemukan hukum.
Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat di Madinah bermusyawarah untuk memilih pemimpin. Hasilnya Abu Bakar ash-Shiddiq (orang yang paling cepat membenarkan) terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi untuk tugas-tugas kenegaraan. Inilah yang menjadi cikal bakal fikih siyasah. Abu Bakar dipilih berdasar musyawarah (syura). Musyawarah adalah salah satu doktrin dalam kehidupan sosial, termasuk dalam menyelenggarakan negara. Dalam surah asy-Syura ayat 38 dijelaskan bahwa memutuskan persoalan keduniawian melalui musyawarah adalah salah satu ciri dari orang-orang yang memiliki kesadaran tauhid (Ar-Razi, Mafatih al-Gaib). Dalam surah Ali ‘Imran ayat 159, Allah memuji akhlak Nabi Muhammad yang lembut hatinya dalam memimpin seraya memerintahkan agar beliau memaafkan kesalahan-kesalahan umatnya, memohonkan ampunan Allah untuk mereka, dan bermusyawarah dalam memutuskan hal ihwal sosial masyarakat.
Setelah kira-kira empat abad kemudian, ada dua orang ulama besar dari Bagdad menulis dengan rinci materi fikih siyasah. Pertama Al-Qadi Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin al-Farra yang lahir di Bagdad tahun 380 H. Kedua Abi al Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al Basari al Baghdadi al Mawardi yang lahir di Basrah tahun 448 H. Judul kedua kitabnya pun sangat mirip. Yang pertama diberi judul Al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Yang kedua Al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyah.
Setelah terpilih, Abu Bakar menghadapi problem internal, munculnya gerakan pemboikotan zakat yang dipropokasi oleh nabi palsu. Atas usul Sayyidina Umar, perang terhadap mereka dilaksanakan. (fikih perang). Perang terhadap pemboikot zakat mengakibatkan banyak sahabat yang hafal Al-Quran syahid. Atas usul Sayyidina Umar pula, Al-Quran yang ada dalam tulisan di berbagai pelepah kurma, kulit binatang, dan hafalan para sahabat harus segera dikodifikasi. (fikih dakwah dan pendidikan). Zaman kekhalifahan Sayyidina Umar (13 – 23 H) banyak terjadi peristiwa sosial yang menghajatkan kepastian hukum. Kasus pencurian saat krisis pangan (ayyam al-majaa’) membuat Umar menangguhkan sangsi pidana potong tangan (fikih jinayah). Dengan alasan memberi efek jera terhadap sebagian masyarakat yang mempermainkan soal perceraian, Umar menetapkan talak tiga sekaligus sebagai bain kubra. (fikih munakahat).
Sayyidina Umar melakukan berbagai macam penataan struktur pemerintahan seperti pendirian Bait al-Mal. Selain itu juga, pada masa pemerintahan Sayyidina Umar mulai melakukan sistem pembayaran gaji bagi para pekerja dan memberlakukan sistem pajak. Jauh sebelum teori trias politica, Umar bin Khattab juga mendirikan pengadilan untuk memisahkan antara lembaga yudikatif dan lembaga eksekutif. Jawatan kepolisian pun mulai dibentuk serta pembentukan Majelis Permusyawaratan yang anggota-anggotanya adalah suku Aus dan suku Khazraj yang berperan sebagai lembaga legislatif. (fikih idarah dan kharaj).
Beberapa inisiatif Sayyidina Umar tersebut melahirkan cikal bakal teori ijtihad yang kemudian dikenal dengan teori qiyas, mashalahat, dan maqashid syariah. Tiga tori ini juga sering disebut dengan ijtihad bi al-ra’y. (Lihat Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy, 9Mesir: Dar al-Ma’arif, 1391, h. 13-16.