
Dunia Pesantren
Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag.
Saya merasa bangga diberi kesempatan oleh Unit Pengembangan Bahasa UIN Antasari menjadi salah satu instruktur dalam Program Persiapan Beasiswa Dana Abadi Pesantren (PPBDAP) Kementerian Agama RI yang dilaksanakan di UIN Antasari. Ada 12 calon penerima beasiswa LPDP Kementerian Agama yang menjadi peserta kegiatan ini. Mereka adalah sarjana-sarjana mantan santri terbaik dari seluruh Indonesia. Dua belas orang tersebut berasal dari Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Saya merasa asyik ngobrol dengan mereka saat proses pembelajaran. Saya diberi porsi untuk materi “Peningkatan Profesionalisme dan Jejaring”, empat kali pertemuan @ dua jam (120 menit).
Saat masuk hari pertama, saya langsung akrab dengan mereka. Pikir saya mungkin karena sama-sama mantan santri, chemistrynya sama. Pesantren itu sebuah lembaga pendidikan yang unik. Ada satu peserta yang tidak hadir pada hari pertama, saya tanya, kenapa tidak hadir, dengan gaya santrinya, dia bilang ketiduran hingga pukul sepuluh Pak. Oh ya.. bagus saya bilang. Maksud saya, bagus bukan karena ketidurannya, tetapi karena sikap jujur dan “nakal”nya.
Dalam dunia pesantren, anak-anak seperti memang harus “nakal” meski sedikit. Mungkin karena harus terpisah dengan orang tua saat usia butuh kehangatan kasih sayang keluarga. Dengan “kenakalan” itu, dia menjadi selalu diingat oleh guru/ustadz/murabbinya. Konon, seorang santri yang akan berhasil menjadi ulama di kemudian hari, adalah santri yang sering diingat oleh guru dan kyainya. Untuk dapat selalu diingat seperti itu, salah satu triknya adalah sedikit bersikap agak “nakal”. Dan benar, anak yang “jujur” tadi yang paling saya ingat namanya selama proses pembejalaran.
Materi yang saya sampaikan tidak terlalu jelas muatannya, tapi saya mencoba berijtihad. Ijtihad kalau benar dapat dua pahala, kalau keliru (bukan salah), masih ada satu pahalanya. Saya mencoba menyusun pikiran logis mulai dari ekspektasi saya terhadap 12 orang peserta itu. Harapan saya mereka menjadi ilmuan dan sekaligus sebagai dosen. Mereka bukan saja akan menempuh pendidikan jenjang S2, tetapi berlanjut hingga doktor. Dengan demikian, saya dapat berdiskusi secara natural karena saya sendiri sudah menjalani profesi sebagai dosen sejak tahun 1995.
Saya membuka pembicaraan dengan menengok KKNI jenjang 8 dan 9. KKNI ditetapkan berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2012. KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) adalah penjenjangan kualifikasi SDM Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan sektor pendidikan dengan sektor pelatihan dan pengalaman kerja dalam suatu skema pengakuan kemampuan kerja yang sesuai dengan struktur di berbagai sektor pekerjaan.
Sebagai seorang yang berprofesi dosen jenjang 8 dan 9 sangat urgen untuk dipahami. Tiga poin KKNI level 8 dan tiga poin level 9 lebih menjelaskan kompetensi profesi ilmuan. Elaborasi dari tiga poin tersebut adalah: kemampuan mengembangkan pengetahuan melalui riset, kemampuan memecahkan permasalahan ilmu pengetahuan secara inter, multi, dan transdisipliner, dan kemampuan mengelola/memimpin riset yang berguna bagi pengembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan.
Sebagai yang berprofesi dosen, hal yang sangat penting dipahami adalah soal integrasi dan interkoneksi berbagai cabang ilmu guna pemecahan masalah. Penerapan model inter, multi, dan transdisipliner memerlukan pembelajaran serius fokus sepanjang hayat bagi calon dosen. Saya berusaha mengajak mereka terus belajar dalam berbagai ilmu di samping mengasah kemampuan interpersonal.
Di hari kedua, saya membicarakan soal tradisi timur dan barat (meski tidak selamanya) soal pendekatan ilmiah. Tradisi Timur terkenal dengan kekayaan normatifnya, adapun Barat tersohor pendekatan empiriknya. Perspektif etik dalam pemecahan persoalan sering menghiasi lembaran kitab-kitab karya Timur, perspektif emik menjadi tradisi Barat dalam riset-riset mereka. Dari hasil dialog saya dengan 12 peserta, pada umumnya mereka ingin lanjut studi ke Timur. Arab Saudi, Mesir, Tunis, dan Marokko menjadi pilihan pavorit mereka. Saya menceriterakan apa yang saya baca dalam Buku Yoval Noah Harari “Sapiens” bahwa salah satu keberhasilan orang Barat melakukan kolonialisme adalah kesuksesan mereka mengirim para sosiolog dan antropolog ke berbagai wilayah yang ingin ditaklukkan. Vasco da Gama (Portugal), Christopher Colomcos (Italia), adalah sebagian dari contoh keberhasilan penaklukan politik dan ekonomi yang didahului riset dengan pendekatan empirik. Demikian juga Christiaan Snouck Hurgronje seorang sarjana Belanda bidang budaya oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda, berhasil menjajah kita dalam waktu yang relatif lama.
Beberapa contoh penelitian model Barat yang akrab di Indonesia juga menjadi pelengkap kajian pada pertemuan kedua ini. Misalnya Martin van Bruenessen dengan “Kitab Kuning: Pesantren dan Tarikat”. Melalui buku hasil riset empirik ini kita dapat memahami geneologi kitab kurikulum pondok pesantren dan geneologi tasawuf. Pengetahuan empirik ini penting menjadi tonggak bagi riset-riset berikutnya. Juga Clifford Geertz dalam “Abangan, Santri, dan Priyai”. Dengan buku hasil riset sosiologis ini kita dapat memahami klasifikasi keberagamaan umunya orang Indonesia, meski penelitian ini banyak menuai kritik.
Hari ketiga, saya lebih banyak membicarakan soal etika dosen, meski hanya terbatas bada beberapa hal. Berdasar pengalaman saya menjadi penjaga dapur lembaga (warek II) selama 8 tahun, salah satu yang kami racik adalah soal kinerja. Dalam survey sederhana ditemukan bahwa kinerja ada kaitannya dengan pola hidup. Pola hidup materialis dengan pendapatan terbatas seorang ASN membawa pada tradisi utang yang akhirnya dapat mengganggu kinerja. Saya kemudian membicarakan soal “kesederhanaan hidup atau lebi tepat hidup sederhana” bagi profesi dosen. Seorang dosen memang tidak akan menjadi hartawan, tetapi in syaa Allah berkah dan berkecukupan. Saya menegaskan kepada mereka bahwa seorang dosen itu mesti qana’ah dan zuhud, tidak terbuai oleh gemerlap duniawi, karena dia yakin bahwa tujuan seorang dosen bukan menumpuk harta, tetapi memproduk dan menyebarkan ilmu. Saya tegaskan kepada mereka, kalau kalian baru menjadi ASN, jangan berpikir memperbaharui kendaraan. Pakai yang sudah ada saja. Pada saat itu pasti marketing lembaga pembiayaan akan menghampiri kalian. Mereka membawa bahasa yang lembut membujuk dengan bahasa yang bersayap, “pembiayaan” meski sebenarnya adalah “utang” yang nanti setiap bulan wajib dibayar melalui potongan gaji.
Soal qana’ah dan zuhud amat penting dalam dunia penuh iklan seperti saat ini, pungkas saya. Saya kemudian mendapat pertanyaan dari salah satu peserta dari alumni suatu pondok pesantren di Aceh. . Bagaimana menerapkan zuhud era sekarang, dan bagaimana memahami para guru pesantren yang mengajar tanpa gaji serupiahpun padahal mereka punya tanggungan keluarga. Saya terkejut mendapat pertanyaan ini. Bayangan saya langsung pada pondok almamater saya, Ibnul Amin Pemangkih. Guru-guru saya dulu dan ternyata sampai sekarang tidak menerima gaji serupiah pun dari jasa ikhlas mereka mengajar. Saya tertunduk sebentar dan berlinang air mata. Ternyata nasib mereka sangat jauh dari para dosen yang digaji cukup oleh Negara, itu pun kewajiban belum tentu dapat tertunaikan.
Saya kemudian berusaha menjawab pertanyaan tadi. Saya katakan bahwa setiap prilaku ditentukan oleh sikap, sikap berasal dari pikiran, pikiran bisa jadi bersumber dari perasaan. Guru-guru di pesantren kita itu rasa dan pikirannya diliputi oleh teologis, mereka memandang sesuatu tidak pada kuantiti, ada yang lebih luas dalam benak dan hati mereka, rahmat Tuhan yang Maha Luas. Saat mengajar, mereka tidak pernah membayangkan dan menghitung tunjangan sertifikasi. Yang mereka rasakan, tugas sebagai hamba Allah sudah ditunaikan, selanjutnya terserah Dia Yang Maha Kaya, tawakkal. Beberapa peserta kemudian mendiskusikan ini cukup panjang hingga jam belajar berakhir.
Hari kempat saya membicarakan soal kedaulatan ilmu. Perihal ini pernah saya tulis dalam kolum dekan 22 Desember 2023: https://febi.uin-antasari.ac.id/2023/12/kedaulatan-ilmu/
Semoga semua peserta PPBDAP ini sukses dan menjadi pelanjut penyebar ilmu dan keteladanan. Amin.
Wallahu a’lam