Penghentian (Wuquf)

Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag

Saya tersenyum sendiri membaca sebuah unggahan di media sosial soal gelar haji bagi orang yang melaksanakan ibadah haji. Dalam percakapan medsos tersebut tampak ada “perdebatan” antara yang setuju dan yang tidak. Yang tidak setuju mengatakan bahwa sebutan “haji” dapat membawa riya. Riya dalam ibadah bukan saja merusak amal, tetapi juga dapat menjurus kepada “kesyirikan”. Pikir saya, bisa jadi kosong gedung di sorga. Bagi yang setuju, gelar itu dapat saja membawa mashlahat, yakni menjadi penjaga/tabir dari perbuatan keburukan. Orang yang disebut “haji” akan merasa malu kalau melakukan kezaliman. Meski kita juga ingat ada orang korupsi yang dananya di bawa untuk umrah. Itulah rupanya kehidupan dunia, alam baharu. Menggelikan, penuh permainan.

Pada sisi lain, salah satu media berita nasional, Kompas Tv, mengabarkan bahwa masih ada orang berhaji dengan visa ziyarah, alias haji illegal. Bahkan menurut sesumber, ada korban meninggal karena dehidrasi saat di perjalanan Aziziyah menuju mina. Korban tersebut berasal dari Mesir dan terlantar hingga lebih dari empat jam. Usut punya usut, korban tersebut adalah pemegang visa ziyarah, bukan visa haji.

Untuk keluar dari perdebatan tersebut, mungkin perlu penyegaran dengan membaca ulang model pemahaman Ali Syariati, seorang intelektual asal Iran, terhadap ibadah haji. Ada makna-makna simbolik dari rangkaian ibadah haji. Pemahaman makna simbolik membawa kita pada lorong pikiran yang lebih dalam dan dapat keluar dari jebakan formalisme ibadah.

Teringatlah kita dengan ayat 11 surah al-Hajj. Allah menyindir bahwa ada sebagian manusia yang beribadah formalistik/harfiah tanpa makna (‘ala harfin). Yang penting sampai ke Mekkah dan ikut rangkaian berhaji mulai dari tarwiyah hingga lempar jumrah hari-hari tasyriq. Beribadah formalistik artinya hanya melihat aspek fikih semata, hanya mempertimbangkan rukun, wajib, syarat, dan menghindari pembatal. Ibadah hanya dilakukan sebagai pemenuhan kewajiban, kering dari makna dan substansinya.

Rasulullah saat ditanya tentang bagaimana cara melaksanakan haji, Beliau menjawab “Haji itu adalah arafah…” (Hadis ini juga disebutkan oleh Abu Daud  pada nomor 1949 Imam Al-Tirmidzi , pada nomor 889, Imam Al-Nasa’i,  pada nomor 3016 dan 3044, dan Imam Ahmad pada nomor 18774)

Banyak komentar dalam menafsirkan sabda Rasul ini, namun isinya sama bahwa “berada di arafah (wuquf) adalah inti dari berhaji. Lalu, apa sebenarnya wuquf itu. Wuquf secara bahasa artinya berhenti dan diam. Dalam ibadah haji, wuquf dilaksanakan dengan berdiam di tempat yang masuk dalam area arafah, sekitar 20 kilometer timur Mekah. Berdiam sekitar 6,5 jam (sejak zawal hingga magrib). Dalam wuquf dilaksanakan shalat zuhur dan ashr dengan jamak takdim, salah seorang menyampaikan khotbah, dan selanjutnya diperbanyak zikir (talbiah dan lain-lain). Sesuai namanya wuquf/penghentian, maka pikiran dan perasaan dibawa ke dalam penghentian (sementara). Orang yang wuquf dapat merasakan bahwa kehidupan di dunia ini suatu saat akan sampai pada penghentian (kematian). Alam barzakh sedang menunggu tamu-tamunya, dan itu adalah kita.

Dalam berzikir tersebut, kita akan ingat dengan tuntunan Allah dalam ayat 205 surah al-A’raf. Dalam ayat itu, kita dituntun menggunakan jiwa dalam berzikir (fi nafsika), bahkan merasakan kekerdilan diri (tadarru’) hingga diri merasa hilang tersembunyi entah dimana (khifah), dengan suara lirih dan dalam konstanta suasana kesadaran yang tinggi. Maka oleh itu, banyak yang meneteskan air mata saat wuquf, seakan tiada lagi kesempatan kecuali di sini, di saat suasana menjadi sama dalam pakaian dan penampilan (berihram), di sisi Allah rabbul ‘alamin.

Kalau demikian, maka tidak diperlukan berdebat apakah gelar haji itu bid’ah atau sebaliknya. Yang diperlukan adalah jawaban seberapa banyak substansi ibadah telah hayati demi untuk membentuk karakter keislaman dan ketaqwaan.