Maulid: Rindu Nabi

Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag

Perayaan maulid Nabi semakin bervariasi. Narasi dan syair pujianpun saling melengkapi. Juga alat musik akustik yang mengiringi semakin terdengar cantik dan pekik. Secara kultural, berbagai model peringatan maulid itu adalah kreasi budaya dan kearifan lokal masing-masing komunitas yang punya tujuan sama, yaitu eksperimen dan eksperience melepas rindu kepada Nabi.

Saat menulis artikel kolum ini, saya teringat dengan sebuah lagu yang melegenda, “Rindu Rasul” Lirik lagu ini semula adalah puisi karya Taufiq Ismail yang kemudian dimohonkan kepada Group Bimbo untuk digubah dalam lagu. Bimbo bersaudara (Sam, Acil, Iin, dan Jaka Bimbo) sukses menyanyikan lagu ini di era 70-an dengan syahdu hingga membuat pencipta puisinya menangis setiap mendengar lagu itu. Dalam tayangan Mata Najwa, “Panggung Bimbo 4“ 6 Juli 2016, Taufiq Ismail dihadirkan dan didaulat memberikan ulasan singkat tentang makna lagu puisi ini. Sambil menangis, yang juga ditangisi oleh sebagian besar pengunjung, Taufiq Ismail berlinang air mata dengan terbata menjelaskan.

Insprirasi puisi yang menjadi lirik lagu tersebut, papar Beliau adalah rasa hormat dan rasa cinta mendalam kepada Rasulullah, Muhammad SAW. Oleh karena itu, lanjutnya, ada tiga hal yang menjadi intisari lagu tersbut: rasa cemburu dengan umat manusia yang dilahirkan 13 abad yang lalu, rindu mendalam terhadap akhlak nabi yang sangat cinta dan ikhlas kepada semua manusia dan alam semesta, dan sebuah pertanyaan “dapatkah kita membalas cintanya yang bersahaja”.

Tampaknya, paling tidak menurut saya, meski sudah berusia hampir setengah abad, lirik lagu itu tetap akan relevan bagi kaum muslimin dalam menyikapi kehidupan yang seharusnya selalu terhubung dengan kehadiran Nabi Muhammad. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dalam samudera rasa emosi spiritual pribadi setiap umat Islam, keberadaan Nabi Muhammad seakan selalu hadir. Dalam kalimat penghormatanpun (tahiyyat) yang dibaca dalam setiap shalat berbunyi “assalamu ‘alaika ayyuhannabiyuu warahmatullahi wabarakatuh”. Penggunaan kata ganti ”alaika” yang artinya “kepada engkau hai Nabi Muhammad” menunjukkan kedekatan orang yang salat dengan baginda Nabi Muhammad. Kedekatannya berpadu dengan rasa bersatu dengan Allah. Dalam berbagai syair pujian dan doa untuk Nabi Muhammad juga sering digunakan kata ganti orang kedua untuk Nabi Muhammad, seperti dalam syair dan salawat maulid Syaraful Anam, Assalamu ‘alaika zainal anbiyaa…

Dalam lirik Rindu Rasul tertulis
“Rindu kami padamu Ya Rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu Ya Rasul
Serasa dikau di sini”
menunjukkan betapa jauh jarak waktu antara kita dengan Rasulullah, namun Beliau serasa di sini.
Dalam lirik berikutnya, dirasakan betapa cinta Nabi Muhammad kepada manusia dan semua makhluk di alam semesta. Diceriterakan bahwa saat hijrah ke Taif tahun 8 kerasulan (619 M), Beliau bersama anak angkatnya, Zaid, terluka akibat sambutan brutal masyarakat Taif. Malaikat penjaga gunung sekitar perjalanan pulang ke Mekah menawarkan kepada Nabi apakah masyarakat Taif sebaiknya dimusnahkan dengan mengangkat gunung kemudian dihempaskan ke pemukiman masyarakat Taif. Nabi kita menolak tawaran tersebut seraya berdoa, semoga generasi keturunan mereka akan beriman. Nabi juga sangat penyayang terhadap binatang. Kepada seorang pemuda yang memberi minum anjing yang tengah kehausan, Nabi mengatakan bahwa pertolongan kepada setiap makhluk bernyawa adalah sedekah. Saat sebatang pohon rindang (sidrah) tumbang, Nabi berkata, siapa yang menebang pohon ini kepalanya akan dicelup Allah ke dalam neraka. Olkeh karena itulah Beliau menjadi rahmat bagi semesta alam.
“Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja”

Pertanyaan dalam akhir puisi lagu itu menggugah semua, dapatkah kita sebagai umat membalas cinta ikhlas Nabi yang sangat tulus itu. Inilah yang sangat menggugah semua kita. Kebaikan apa yang dapat kita berikan untuk menjawab jasa Rasulullah. Rasanya pengabdian yang telah kita lakukan sangat jauh dari jasa kebaikan yang telah kita terima dari Rasulullah. Rasanya kita masih zalim terhadap diri sendiri, tak mampu mencurahkan keikhlasan, tak mampu mengabdikan diri untuk memberi sumbangan walau sedikit bagi kebaikan semesta alam. Laa ilaaha illa anta, subhaanaka innii kuntu minaz zalimin, Astagfirullah.