
Menuntut Ilmu
Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag
Sebenarnya perihal menuntut ilmu sudah juga saya tulis pada artikel edisi minggu lalu, terutama dalam hal memberi apresiasi kepada (terutama) 330 mahasiswa yang baru menjalani ujian munaqasyah. Jujur saja, tulisan dengan judul “Menuntut Ilmu Mencari Berkah” tersebut lebih saya dedikasikan kepada mahasiswa yang ujian di ujung masa studi mereka, semester 14. Saya menghargai perjuangan “hidup mati” mereka dalam menyelesaikan sisa-sisa usia kuliah mereka yang nyaris terkubur tanpa jejak, drop out. Beberapa mahasiswa angkatan 2016 tersebut saya japri ucapan selamat sekaligus membagi artikel kolum tersebut. Di antara mereka ada yang terharu, terutama saat membaca dua alenia terakhir.
Kepada beberapa mahasiswa “tua” tersebut, secara bergurau, sering saya katakan, “semakin lama masa kuliahnya, in syaa Allah semakin berkualitas”. Dengan senyum yang tidak jelas antara mengiyakan dan tidak, rata-rata mereka menimpali dengan kalimat pendek, amiiin pak. Tetapi, doa keberkahan selalu kita panjatkan untuk semua anak-anak kita, mahasiswa FEBI UIN Antasari.
Ilmu atau pengetahuan ilmiah sebagai salah satu sumber kebenaran memang harus dicari. Bahasa Arabnya “thalaba” yang secara sepihak kita terjemahkan dengan “menuntut”. Dalam bahasa goyonan sering ada yang nyeletuk, “salah apa si ilmu, sehingga dia harus dituntut”. Akan tetapi ada benarnya juga, salah satu dari tujuh arti “menuntut” dalam KBBI online adalah berusaha atau berdaya upaya mencapai (mendapat dan sebagainya) suatu tujuan. Jadi menuntut ilmu berarti berusaha keras agar ilmu bisa didapat. Benar juga.
Kata terpenting dalam menuntut ilmu adalah “membaca”. Dalam perintah agama (Islam), “iqra’” adalah kata pertama yang ditujukan kepada Nabi Muammad. Saat belum dapat membaca dan belum ada objek lembaran kalimat yang dibaca, Nabi Muhammad diperintahkan membaca dengan nama Tuhan yang telah menciptakan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kerja membaca diperlukan semangat spiritual rasa ingin tahu yang kuat untuk dapat lebih mengenali sesuatu sebagai ciptaan Tuhan. Jadi semangat membaca bersumber dari rasa ingin tahu terhadap ciptaan Tuhan. Karena perbedaan kualitas antara manusia dan Tuhan, mengetahui zat Tuhan adalah hal yang mustahil, tetapi mengetahui ciptaan-ciptaan-Nya adalah sangat mungkin melalu kerja membaca. Karena mengetahui Tuhan yang setiap saat semua benda bertasbih kepada-Nya adalah sebuah kerinduan, maka kerinduan itu dapat terobati melalui perolehan ilmu dengan membaca. Jadi membaca itu adalah obat kerinduan. Dengan demikian, menuntut ilmu dan membaca memerlukan pengorbanan demi melepas pilu kerinduan.
Pengembaraan heroik penuntut ilmu yang diuraikan Al-Quran adalah ceritera Nabi Musa dan Sang Guru yang harus dia temui ditengah laut tak berjejak. Dimuai dari ayat 60 surah al-Kahfi, ceritera itu diawali. Nabi Musa yang haus ilmu menyatakan kepada sahabat dan sekaligus muridnya, Yusya’ bin Nun, bahwa dia tidak akan berhenti berjalan hingga menemukan Sang Guru yang diinformasikan ada di pertemuan dua lautan. Sami bin Abdullah al-Maghluts dalam bukunya Atlas Sejarah Nabi dan Rasul menyatakan bahwa lokasi dua lautan tempat pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir adalah di Teluk Aqabah dan Terusan Suez di Laut Merah. Singkat ceritera, setelah musafir yang cukup melelahkan karena petanda (ikan) keberadaan Sang Guru hilang, Musa dan muridnya harus kembali ke awal perjalanan menyusuri rute perjalanan laut mereka. Akhirnya, mereka bertemu. (QS Al-Kahfi 60-65). Pada ayat 62, Musa berkata kepada muridnya “… sungguh perjalanan kita ini membuat kepayahan”. Alhasil, perguruan Musa dengan Sang Guru berakhir gagal karena Musa tidak mampu memenuhi tuntutan Sang Guru pada saat proses pre test pembelajaran. Namun, pengalaman Musa tersebut menjadi abadi bagi para penuntut ilmu dan bagi semua umat Islam. Bahwa tentulah tidak mudah dalam mencapai ilmu pengetahuan, perlu perjuangan dan pengorbanan.
Sesuai dengan basis spiritual filosofi “membaca”, seperti yang ditegaskan pada ayat 1 al-‘Alaq, maka ilmu pada hakikatnya seharusnya menjadi basis moral, dasar etika, dan pondasi akhlak. Moral, etika, dan akhlak adalah buah kehidupan yang harus dinikmati dan diagungkan. Semakin berilmu, semakin berakhlak. Akhlaklah yang akan menentukan nilai seseorang, komunitas, bahkan suatu bangsa. Dengan mengutip syair dari Syauqi Bey, Buya Hamka, dalam bukunya “Lembaga Budi” menulis sebuah syair:
#Tegak rumah karena sendi
#Runtuh sendi rumah binasa
#Sendi bangsa adalah budi
#Runtuh budi runtuhlah bangsa