Merawat Bumi
Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag.
Jauh sebelum 5 Juni 1972, hari pertama konferensi lingkungan hidup pertama yang dilaksanakan PBB di Stockholm Swedia, empat belas abad yang lalu, ajaran Nabi Muhammad sudah menegaskan bahwa alam semesta harus dirawat dan dijaga. Semesta alam memiliki dimensi ilahiah, diciptakan Tuhan sebagai tanda keberadan-Nya (QS 30:20-26, 16: 79 ) dan bertasbih tunduk kepada-Nya (QS 24: 41). Manusia, flora, fauna, air, gunung, bebatuan dan semuanya secara bersama berirama memuji Tuhan (QS 3: 83). Pengabaian dan pengrusakan terhadap fungsi-fungsi alam akan menyebabkan kesengsaraan bagi seluruh penghuni bumi (QS 30: 41-43). Yang mengerikan bahwa kerusakan itu adalah bagian dari proses dan tanda-tanda munculnya fajar kiamat, suatu saat yang memusnahkan segalanya untuk Tuhan meminta pertanggung jawaban manusia dan mewujudkan kehidupan baru, hari pembalasan. (QS 82: 1-19).
Ihwal memelihara lingkungan, Masyarakat Arab, Nabi dan para sahabat sangat serius melakukannya. Konsep hima (hutan lindung) adalah bukti tentang hal ini. Sudah menjadi tradisi zaman Arab pra Nabi Muhammad, suatu komunitas (suku) memiliki wilayah hutan sebagai cadangan air, kayu bakar, dan padang rumput. Mereka menjaga dan marawatnya sebara bersama. Hutan dimaksud biasanya berada di suatu lembah antara dua bukit yang saat turun hujan akan mengandung air dan menumbuhkan pepohonan. Tradisi hima ini yang oleh Nabi diratifikasi menjadi ptotected area milik publik. Dalam riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Nabi menegaskan bahwa “manusia bersyarikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api (energi)”. Nabi melakukan reformasi soal kepemilikan hima zaman pra Nabi yang bersifat privat bagi suku tertentu menjadi milik bersama. Zaman Nabi ada hima di An-Naqi’ dan pada zaman Umar dikembangkan juga hima di Sharaf dan Rabazah.
Dalam riwayat Abu Dawud, suatu ketika, Nabi menemukan pohon tumbang. Beliau bertanya, siapa yang menebang pohon ini (sidrah/bidara). Salah seorang sahabat memberi info bahwa si fulan yang melakukannya yaa Rasul. Beliau dengan tegas mengatakan: “Barang siapa menebang pohon bidara, Allah akan membenamkan kepalanya dalam api neraka”. Dalam sejarah, bidara yang ditebang tersebut adalah pohon rimbun tempat gembala bernaung dan burung-burung singgah dari terbang jauh untuk sekedar istirahat dan mencari makan. Riwayat ini menegaskan bahwa sebatang pohon memiliki nilai ekologis yang sangat besar bagi makhluk hidup. Pohon berdiri tegak siap menerima energi dari matahari dan memancarkan oksigen bersih bagi sekitarnya.
Hadits tentang hima dan pohon bidara adalah sebagian dari sumber normatif tentang pentingnya menjaga bumi, membiarkannya tetap hijau sebagai paru-paru dunia. Dengan demikian, keberagamaan umat Islam tidak hanya diukur berdasar ibadah ritualnya, namun juga dilihat dari kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Meningkatnya konsentrasi emisi gas rumah kaca sepertinya tidak terbendung seiring dengan gaya hidup modern era teknologi pasca era industri. Alam tampaknya pelan-pelan akan menuju kehancuran. Yang dapat dilakukan adalah memperlambat kepunahan melalui upaya konservasi dan restorasi lingkungan.
Kalau benar liputan tematik jurnalistik Harian Kompas 5 Juni 2023 tentang kondisi bumi kita, sungguh menjadi alarm bagi ancaman kepunahan. Menurut harian ini, saat ini suhu rata-rata di permukaan bumi telah meningkat 1,1 derajat celsius sejak 1880. Suhu bumi diperkirakan bakal melewati titik kritis 1,5 derajat celcius dalam lima tahun mendatang. Tanpa upaya serius menurunkan emisi gas rumah kaca, generasi mendatang bakal menanggung beban besar dari pemanasan global. Indonesia, lanjut laporan harian ini, mengalami kenaikan suhu dengan laju rata-rata melebihi tren global. Bahkan suhu di Berau, Kalimantan Timur, telah memanas 0,95 % derajar celcius dalam 16 tahun terakhir, menjadikannya daerah dengan laju pemanasan tertinggi.
Selamat hari lingkungan hidup 5 Juni 2023. Dengan segala ikhtiar dan doa bagi lingkungan, setiap bencana semoga hanya sebagai peringatan dan tidak memusnahkan.