I’tikaf: Berbisik-bisik dengan Allah (Renungan Ramadan 1444 H Bag. III)
Oleh : Dr. H. Sukarni, M.Ag
Berbisik-bisik adalah berkata-kata dengan suara perlahan-lahan atau dengan diam-diam sehingga tidak kedengaran atau ketahuan orang lain. Berbisik-bisik dengan Allah, itulah arti kata dari munajat, sebagai salah satu turunan dari kata naja(w) . “Najwa” dalam bahasa Arab artinya bisikan. Berbisik-bisik dengan Allah juga menjadi salah satu judul buku seri Tasawuf Modern karya Agus Mustofa yang terbit tahun 2013.
Menyambut sepuluh terakhir Ramadan tahun 1444 H ini, saya ingin mengulas sedikit soal i’tikaf. I’tikaf adalah berdiam di dalam masjid dengan niat dan aktivitas mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah i’tikaf ini, pada mulanya merupakan model ibadah para penyembah berhada zaman Nabi Ibrahim. Al-Quran menginformasikan hal tersebut pada beberapa ayat: disekitar al-Anbiya ayat 52 dan al-A’raf ayat 138. Pada surah al-Anbiya dijelaskan, bahwa Nabi Ibrahim diberi kecerdasan dan hidayah oleh Allah Yang Maha Tahu untuk mendakwahkan tauhid, sesuai dengan kondisi umat yang dihadapinya. Suatu ketika dia menemukan ayah dan umatnya sedang bersembah sujud dan berbisik-bisik (beri’tikaf) di hadapan berhala-berhala, seraya berkata “mengapa seperti ini kalian beribadah”. Umatnya menjawab “beginilah yang kami warisi dari nenek moyang kami (ayat 51, 52, dan 53).
Dalam surah al-A’raf, dijelaskan bahwa, sebagai penerus risalah tauhid Ibrahim, Nabi Musa setelah menyelamatkan Bani Israil dari kejaran Firaun, menyeberang laut merah, menemukan suatu kaum yang beribadah sembah sujud dan berbisik-bisik (beri’tikaf) di hadapan berhala-berhala. Kaum itu mengusul kepada Nabi Musa agar dibuatkan berhala baru sebagai tuhan. Mendengar usulan itu, Nabi Musa berkata “Kalian adalah kaum yang jahil” (ayat 138).
Dua ayat tersebut menunjukkan bahwa tradisi sembah sujud dan berbisik kepada tuhan sudah terjadi sejak lama. Ada kehausan spiritual bagi manusia di sepanjang zaman. Nabi Ibrahim dan Nabi-Nabi sesudahnya berupaya mereformasi model ibadah ini. Namanya tetap saja (i’tikaf), formatnya diubah. Yang semula sembah sujud berbisik khusyuk di hadapan berhala menjadi sembah sujud khusyuk berbisik di hadapan Allah SWT.
Untuk memenuhi kehampaan hidup, apalagi era kehidupam modern yang sangat dinamis, berbisik-bisik dengan Allah sebagai Tuhan sangatlah penting. Berbisik berarti menyampaikan kesan, permohonan, dan perasaan. Kesan dan permohonan dapat diwakilkan pada lisan dalam bentuk narasi pujian, harapan, bacaan Al-Qur’an. Perasaan tidaklah mungkin diwakili oleh lidah dan kata-kata. Perasaan inilah yang akan menjadi objek limpahan karunia tanpa batas dari-Nya. Selalu merasa optimis dengan kasih sayang-Nya, selalu merasa aman dengan kekuatannya, selalu merasa cukup dengan kekayan-Nya. Barangkali itulah makna ayat 28 surah ar-Ra’d.
Nabi Yunus menyampaikan kesannya dalam kegelapan perut ikan (al-Anbiya ayat 87). Nabi Adam menyempaikan kesannya setelah dikeluarkan dari sorga (al-A’raf ayat 23). Nabi Ayyub menyampaikan perasaaannya setalah lama menderita sakit (al-Anbiya ayat 83) . Nabi Muhammadi diajarkan Allah agar berserah penuh kepada Allah setelah berjuang menerangi umat (at-Tawbah ayat 129). Semua mereka adalah teladan kita.
Momentum berbisik dengan Allah semakin syahdu di ujung Ramadan. Rasulullah menyebutkan ada saat-sata penentuan (lailatul qadr) di ujung Ramadan. Penentuan bagi orang beriman akan menjadi semakin kuat imannya, akan semakin tegus istiqamahnya, semakin fokus dalam ibadahnya, semakin dalam zikirnya, dan tentulah semakin sukses hidupnya. Sukses bukan dalam arti karier dan jabatan, tetapi sukses dalam arti keselamatan dalam mengarungi hidup yang penuh tantangan. Kemenangan dalam perspektif agama bukan berarti orang yang tak pernah kalah. Kemenangan adalah pada saat amanah hidup telah dengan baik ditunaikan.
Selamat melaksanakan ibadah Ramadan. Bersambung).