Hidup Yang Sepi (Menyambut Ramadan 1444 H Bag. I)
Oleh : Dr. H. Sukarni, M.Ag
(Catatan Menyambut Ramadan 1444 H Bag. I)
Sekitar sepuluh hari lagi kita memasuki bulan suci Ramadan tahun 1444 Hijriyah. Beberapa kalender yang saya lihat, 1 Ramadan akan jatuh tanggal 23 Maret 2023. Dalam tradisi masyarakat pedesaan, persiapan menyambut Ramadan selau dilakukan. Menjemur padi untuk persiapan beras. Mengumpulkan kayu bakar sebagai sumber energi api. Membersihkan rumah dan lingkungannya agar terasa lapang dan nyaman. Juga tak ketinggalan memperbanyak lampu penerangan agar aktivitas malam hari jadi lebih terang. Bagi masyarakat perkotaan juga terjadi persiapan-persiapan yang tidak jauh berbeda. Hanya bagi masyarakat perkotaan, persiapan itu relatif lebih mudah dilakukan karena hampir semua keperluan dapat diwujudkan dengan mudah dan praktis, tentu dengan uang.
Banyak riwayat hadits tentang Ramadan, mulai yang mutawatir, masyhur, ahad, garib, hasan, daif, hingga yang terbukti maudlu’. Namun, semua itu saling menguatkan bahwa Ramadan memang bulan mulia bagi kaum beriman. Tak ada masa dimana Nabi Muhammad menghabiskan puluhan malam untuk beri’tikaf, hidup dalam sepi, sendiri menerangi hati, fokus dalam ketenangan jiwa, selain pada sepuluh terakhir setiap Ramadan.
Dalam era global dan keterbukaan sosial, hidup yang sepi terasa diperlukan, agar terjadi keseimbangan. Masyarakat modern dengan ciri meningkatnya kemakmuran, sandang, pangan, papan, dan kebutuhan lain semakin terpenuhi, hingga gaya hidup, ternyata menimbulkan konsumerisme, pembelanja, penikmat kehidupan, pejalan kesana kemari, mendatangi berbagai tempat hiburan dan pariwisata. Tidak ada yang salah dalam semua itu selama dilakukan dengan moral dan empati. Namun segala yang menyenangkan selera tidak semuanya berbanding lurus dengan kebaikan. Masyarakat modern lebih banyak meninggal dunia karena obesitas dibanding kelaparan. Penyebab kematian paling tinggi hingga nomor tiga disebabkan oleh makanan yang disantap masyarakat modern.
Ramadan, sesuai ari harfiahnya (membakar), datang setiap tahun menemui kiita. Dia siap menabuh genderang perlawanan terhadap pasukan konsumerisme. Dia siap mengangkat senjata untuk menghadapi regu hasrat keramaian duniawi. Dia siaga melawan segala kesombongan individualisme. Ramadan mengarahkan kita dalam hidup yang sepi.
Dalam Alquran surah Asy-Syu’ara ayat 88-89 Allah menegaskan salah satu harapan Nabi Ibrahim agar ia diberi keselamatan dihari yang sepi, masing-masing orang mengurus dirinya sendiri, dimana ada satu masa tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bening.
Harta dan anak-anak barangkali sebagai simbol keramaian duniawi yang pasti akan kita tinggalkan. Ternyata semua itu bernilai nihil, kecuali disertai dengan hati yang bersih. Pengelolaan yang benar. Dalam Hadits Qudsi, Allah menegaskan bahwa hati yang menentukan segalanya. Kalau hatinya baik, semua pekerjaannya akan baik, begitu pula sebaliknya. Ramadan membawa kita pada kehidupan hati, kehidupan rohani, kehidupan hakiki. Ramadan mendidik manusia meninggalkan untuk sementara keramaian duniawi, keramaian konsumerisme. Meski di malam hari tidak ada pantangan untuk mengembalikan hasrat konsumerisme, namun bagi orang yang ingin membawa diri dalam kehidupan yang sepi, malam Ramadan tidak terlalu berbeda dari siangnya, berdisiplin dalam merawat hasrat duniawi dan menuju pada yang sepi, khusyuk tenggelam dalam lautan rindu ilahi.
Selamat menyambut Ramadan.