Waspada Era Kecerdasan Buatan

Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag

Dalam sebuah artikel, dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Yayu Nidaul Fithriyyah mengawali tulisannya degan sebuah pertanyaan Yang menantang, “Mungkinkah mahasiswa menulis skripsi tanpa perlu dosen?, Murid mengerjakan tugas sekolah tanpa perlu guru?, Dosen  menulis karya  ilmiah tanpa perlu teman sejawat? Jawabannya adalah: mungkin”

Keniscayaan kemungkinan itu karena munculnya kecerdasan buatan produk mesin yang disebut artificial intelligence (AI) seperti chatbot yang disebut  ChatGPT produk OpenAI di dunia maya, wilayah bebas akses. Shofware ini seperti mitra dialog yang cerdas, dapat memberikan jawaban setiap pertanyaan yang diajukan, mulai masalah sepak bola hingga penyakit kronis berbahaya.

Saat memberikan sambutan untuk 181 peserta yudisium baru FEBI UIN Antasari periode Januari 2023, 7 Februari 2023 lalu, hal ini saya tegaskan pula kepada semua sarjana baru, bahwa kita semua harus menyadari kemajuan teknoogi ini beserta dengan semua dampak positif dan negatifnya.

Pada aspek positif, teknologi informasi dapat memangkas ruang, waktu, hingga biaya. Era ini menjadi peluang yang sangat berharga bagi semua. Tak terbayangkan pada era tahun 60-an ada perusahaan taxi tanpa mobil, pedagang konveksi tanpa toko, belajar tanpa guru. Namun, semua ini telah menjadi kenyataan. Perkembangan ini dipotret Yoval Noah Harari, seorang guru besar sejarah manusia, dalam dua buku yang luar biasa. Satu buku menjelaskan sejarah paling awal manusia hingga kini yang melewati tiga evolusi: kognitif, agrikultur, dan saintifik dalam judul “Sapiens”. Buku yang satunya lebih hebat lagi, sebuah ramalan tentang evolusi manusia sejak kini hingga mendatang yang berujung perubahan sapiens menjadi manusia dewa, “Homo Deus”.

Dalam bukunya yang pertama, Harari  menegaskan keberhasilan spektakuler manusia karena potensi dan kecerdasannya dibanding makhluk lain. Meski manusia terlahir premature (dalam arti tidak seperti binatang yang terlahir sempurna secara fisik), manusia dapat berkembang dan dikembangkan. Manusia telah mampu melewati fase kematian massal akibat suka berperang dan kekurangan makanan. Melalui bahasa dan empati, manusia mampu berkomunikasi dan membentuk kesadaran bersama. Melalui evolusi pertanian, manusia dapat mengatasi kelaparan. Manusia sekarang lebih banyak mati karena kegemukan disbanding perang dan kelaparan.

Akses negatif dari teknologi informasi, salah satunya adalah matinya kepakaran. Tom Nichols, guru besar Harvard Extension School  menyoroti hal ini dalam sebuah buku “The Death of Expertise”. Nichols menyoroti soal pakta bahwa yang semestinya secara ilmiah bumi itu bundar, masih banyak orang yang percaha bumi datar dan didukung oleh informasi dari dunia maya. Juga banyak orang yang tidak percaya dengan vaksinasi sebagai upaya membangun imunitas tubuh menghadapi covid-19 dengan dukungan opini yang juga ada di dunia maya. Bahkan, semua orang menjadi penyebar berita (wartawan) tanpa sleksi keahlian. Akhirnya, era teknologi informasi yang diandaikan sebagai masa keemasan ilmu pengetahuan dan teknologi karena tersedia berbagai kemudahan dan fasilitas yang dapat mendukung dunia akademik dan ilmu pengetahuan, berubah menjadi dunia hoax dan  perang informasi yang merugikan. Di era medsos, kualitas seseorang tidak diukur berdasar mutu, tetapi berubah menjadi “like” dan “subscribe”. Semua seakan diukur berdasar kuantitas semu dan pesanan, bukan kualitas objektif yang sebenarnya.

Oleh karena itu, kecerdasan buatan harus kita gunakan hanya sebagai salah satu pintu ilmu menuju pengetahuan. Kemampuan berpikir analitis, moralitas, dan iman tetap menjadi hal terpenting bagi pengembangan kebudayaan manusia, dulu, sekarang, dan nanti.