Umat Tayo
Oleh: M. Yulian Ma’mun
“Cessssst….”
Begitu menepi ke halte Jasa Raharja di depan kampus UIN Antasari, bus berkelir hijau-kuning mengeluarkan desis. Sebuah pertanda bahwa rem angin sedang bekerja. Kecepatan pun melambat secara gradual. Suara itu diiringi bunyi elektronik “bip..bip…” mengisyaratkan pintu terbuka secara otomatis. Bus Tayo, demikian warga Banjarmasin dan sekitarnya menyebut bis ukuran medium bermuatan 20-30 penumpang tersebut. Mungkin karena perawakannya mirip bus di serial animasi asal Korea Selatan “Tayo Bus Kecil (Tayo the Little Bus)”. Tayo yang tayang di televisi swasta nasional dan kanal Youtube ini, dikisahkan bisa bicara dan bertingkah layaknya manusia.
Jaringan bus dengan nama resmi “BTS (Buy the Service) Trans Banjarbakula” ini bagian dari transportasi publik yang melayani rute kota metropolitan “Banjarbakula” meliputi Kota Banjarbaru, Banjarmasin, Kab. Banjar, Kab, Tanah Laut, dan Kab. Barito Kuala.
Selain saya, ada dua orang sivitas UIN Antasari lainnya yang nongkrong di halte. Niko, sahabat saya seorang tenaga kependidikan Fakultas Syariah yang tinggal di Bati-bati, Tanah Laut. Seorang lagi adalah seorang dosen senior FEBI yang berdomisili di Kabupaten Banjar. Kami akan baik bus yang sama. Akan tetapi di terminal Pal 6, saya pindah bus, sedangkan mereka berdua meneruskan perjalanan ke terminal Pal 17.
Alasan mereka naik bus, selain biaya lebih hemat biaya, juga irit tenaga.
“Kalau menyetir, sejam kita harus fokus . Itu juga bikin badan capek. Naik bis kan enak, bisa tidur. Iya kalo Yulian lah…”, ujar pak dosen dengan logat Martapura yang khas.
“Nyaman pang naik Tayo nih. Tapi yang meulah tegang itu menyeberang jalan tu nah, kendaraan laju-laju,” tutur Niko.
Menumpang bus Tayo memang nyaman. Tapi menurut Niko, saat turun di halte dan harus menyeberang menuju kampus, adalah pengalaman menegangkan yang harus dilaluinya setiap pagi. Dia harus menyeberangi jalan A. Yani selebar 24 meter tersebut sambil waspada karena kendaraan yang melintas berkecepatan antara 30-40 km/perjam. Wajar saja, karena jalan arteri ini adalah salah satu jalan tersibuk, terutama antara pukul 07.00-08.00 pagi. Di jam padat tersebut, pengendara mobil dan motor seperti berlomba menggeber tunggangannya bak adegan Fast and Furios. Mereka semua juga tidak ingin terlambat ke kantor atau ke sekolah.
Sejak terbitnya peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2017 tentang program area kota metropolitan “Banjarbakula”, transportasi umum di daerah ini seperti mendapat angin segar. Berangsur berbagai sarana prasarana dan infrastruktur komuter warga disediakan. Selain bus BTS ada juga Bus Rapid Transit (warna biru), dan Trans Banjarmasin yang melayani rute dalam kota.
Kualitas layanan angkutan dalam kota yang dikenal dengan nama mikrolet taksi kuning, atau angkutan antar kota dalam provinsi (warga Kalsel mengenalnya dengan istilah taksi colt), amat rendah. Ditambah semakin mudahnya akses masyarakat mendapatkan motor dan mobil pribadi, membuat transportasi umum di Kalsel seakan mati suri selama satu dekade terakhir. Memang transportasi massal belum punah sepenuhnya, tapi kondisinya cukup memprihatinkan. Selain mobil angkot yang sudah tua, ditambah lagi servis yang di bawah standar, waktu tunggu lama, hingga perilaku sopir yang membuat penumpang beristighfar.
Booming ojek online berbasis aplikasi ponsel sekitar tahun 2015 seakan menjadi solusi karena bisa memecahkan masalah angkutan publik ini. Sebuah asumsi yang sebenarnya kurang tepat karena transportasi daring bukanlah transportasi publik. Selain itu, transportasi daring disediakan oleh pihak swasta, seharusnya layanan publik disediakan oleh negara. Kalaupun memang dioperasikan swasta, harus di bawah koordinasi pemerintah. Taksi kuning dan taksi colt memang terpuruk dalam nestapa, tapi nasib malang moda transportasi ini sedikit banyak ada tanggung jawab pemerintah juga.
Transportasi umum merupakan salah satu sektor layanan publik membantu mobilitas warga, mengangkut banyak orang dari satu lokasi ke lokasi lain. Weisbrod dkk., (2014) menyebutkan bahwa investasi pemerintah pada sarana & prasarana transportasi memiliki efek positif terhadap ekonomi. Biaya dan waktu yang digunakan masyarkaat untuk mobilitas sehari-hari baik bekerja, sekolah, maupun keperluhan harian lainnya, akan lebih efisien, produktivitas pun semakin meningkat.
Pengadaan infrastruktur transportasi umum ini juga merupakan bentuk belanja negara/ daerah yang pada akhirnya dapat merangsang pergerakan ekonomi. Harga dan value properti yang dilewati oleh jalur transportasi umum, juga akan naik. Penelitian yang dilakukan oleh Chetty & Hendren (2018) menemukan bahwa trasportasi publik yang baik, akan membantu mobilitas masyarakat untuk keluar dari garis kemiskinan. Publik akan mendapat banyak kemudahan dalam bekerja dan sekolah, dengan bantuan akses transportasi yang laik. Selain itu transportasi publik yang baik menjadi salah satu faktor pendukung pariwisata.
Indonesia memang amat tertinggal di bidang penyediaan transportasi massal ini, bahkan oleh negara tetangga. Jakarta yang mewakili Indonesia berada di peringat 38 dalam Indeks Transportasi Publik 2022 yang dirilis oleh Oliver Wyman Forum. Peringkat ini menempatkan kita di bawah Singapura (ranking 4) dan Malaysia (ranking 23). Artinya tingkat penggunaan, efisiensi, dan sistem transportasi massal kita masih perlu perbaikan. Ranking pertama ditempati oleh Hongkong yang dapat menyediakan jaringan transportasi berbagai moda (kereta, trem, bus, & kapal ferry) yang murah, jaringan luas serta menjangkau semua lapisan masyarakat.
Tugas menyediakan transportasi publik yang layak ini adalah kewajiban pemerintah—sebagaimana sektor publik adalah amanah dari UUD 1945. Banyak transportasi umum di kota besar dunia sekalipun, hidup dengan subsidi dari negaranya.
Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang negara kita miliki, tentu kita berharap masyarakat tetap dapat terlayani dengan baik. Sebagai warga negara, kita dapat berkontribusi walaupun terlihat kecil dan remeh. Misalnya, menjadi bagian dari ummat Tayo dengan mulai membiasakan diri naik transportasi umum, akan jadi sumbangsih berarti bagi sektor layanan publik.
Tag:M. Yulian Ma'mun