MENUJU DE- DOLARISASI DAN KEBANGKITAN PETROYUAN
Oleh: Rimayanti*
Sepertinya ungkapan “Orang kaya mah bebas!” tidak hanya merujuk pada Sisca Kohl yang bebas memblender segala, atau Alshad Ahmad yang juga bebas memelihara segala. Dalam dunia bisnis di mana pemilik sumberdaya adalah dewa, memilih untuk bermitra pada blok mana atau memilih tidak menjual pada siapa itu terserah, karena sebagai pihak supplier besar mereka bebas menentukan mana partner yang dirasa menguntungkan dan sepertinya punya masa depan lebih cerah dibanding partner lama yang kini dirasa sudah mulai menampakkan tampang madesu.
KARENA SI OPA
Arab Saudi sepertinya sedang mempertimbangkan kelangsungan hubungan kemitraannya dengan Paman Sam si sekutu lawas mereka dalam hal dagang minyak. Hal ini dipicu oleh kemarahan Presiden Biden atas keputusan OPEC, aliansi negara- negara pengekspor minyak yang dimotori oleh Saudi, untuk mengurangi produksi minyak mereka sebanyak 2 juta barrel per hari, guna menopang harga minyak dunia agar tetap stabil dari goncangan perang Rusia- Ukraina yang menyebabkan krisis energi (https://www.france24.com/en/americas/20221012-biden-says-saudi-arabia-will-face-consequences-for-its-oil-production-cut). Pemangkasan produksi minyak ini tentu makin memperburuk pasokan energi di Barat yang sudah megap- megap karena berhenti membeli gas alam dan minyak dari Rusia sebagai bentuk sanksi dan “solidaritas” kepada Ukraina. Presiden Biden sampai harus datang langsung ke Riyadh untuk melakukan tawar- menawar dengan Pangeran MBS, namun pulang dengan tangan kosong.
Kesal karena dicueki dan malah ditikung oleh Iran, membuat Presiden Biden yang didukung oleh para anggota Senatnya, mengeluarkan sejumlah ancaman kepada Saudi, diantaranya akan berhenti memback-up operasi militer Saudi di Yaman, menarik pasukannya dari Saudi, hingga minta kembalikan persenjataan yang dulu diberikan untuk memerangi Kelompok Houthi (https://www.thejakartapost.com/world/2022/10/09/opec-oil-output-cut-shows-widening-rift-between-biden-and-mbs.html). Terkait dengan urusan minyak ini, Adel Al-Jubeir, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saudi membantah bahwa krisis energi di Amerika dan dunia disebabkan oleh keputusan OPEC, melainkan karena “Amerika tidak mau memperbaiki pasokan energi dalam negerinya sendiri, padahal mereka adalah produsen sekaligus konsumen minyak nomor satu dunia. Jika ingin pasokan minyak yang lebih banyak, seharusnya mereka bisa memproduksinya sendiri.”
SENJAKALA DOLAR
Ketidakharmonisan urusan minyak dan energi ini kemudian merembet pada hal yang lebih serius. Rusia yang sudah lebih dahulu PDKT ke Saudi sukses menggolkan ekspor minyak 2 kali lebih banyak pada kuartal kedua tahun 2022 ini. Impor minyak dari Rusia dilakukan untuk membebaskan minyak mentah kerajaan sendiri untuk diekspor dengan harga yang lebih tinggi. Data yang diperoleh melalui pelacakan kapal Refinitiv Eikon menunjukkan Arab Saudi mengimpor bahan bakar minyak 647 ribu ton atau 48 ribu barel per hari dari Rusia melalui pelabuhan Rusia dan Estonia pada April – Juni tahun ini (https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220715092449-85-821851/negara-barat-sanksi-minyak-rusia-arab-saudi-malah-impor-2-kali-lipat). Dan bayarnya tentu bukan pakai “peyleter”. Apakah dalam Dolar? Tentu tidak, karena Rusia dan Saudi sudah memiliki agreement untuk membayar dalam mata uang masing- masing. Rubel dan Riyal sudah jadi alat pembayaran yang sah untuk pembelian minyak antara kedua negara tersebut. Belakangan, raksasa minyak lainnya yaitu Cina juga telah meneken perjanjian kerjasama di bidang perminyakan dan telekomunikasi dengan Saudi, dengan salah satu poin krusialnya yaitu melakukan pembayaran transaksi dalam mata uang Yuan. Di tengah inflasi tinggi yang menghantui Eropa dan Amerika, harapan untuk tetap menjaga Dolar sebagai mata uang acuan dalam transaksi dagang internasional tampaknya sedang menuju senjakala.
KEBANGKITAN PETROYUAN
Memang jauh sebelum ini, Cina sudah memulai upayanya untuk menginternasionalisasi mata uangnya Yuan, misalnya dengan super mega proyek BRI (Belt and Road Initiative). Pembayaran proyek- proyek infrastruktur dan paket bantuan lain diwajibkan dalam mata uang Yuan. Namun pemakaian Yuan masih sangat terbatas, karena Cina memang dikenal ketat dalam mengendalikan peredaran uangnya guna menghindari spekulan yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi dalam negeri mereka. Dibandingkan Euro, Yuan juga masih kecil porsinya dalam transaksi perdagangan dunia, sehingga “harusnya” Amerika tidak perlu takut- takut amat dengan Yuan. Anggaplah seperti cubit- cubit manja saja.
Namun cubit manja tadi bisa jadi tamparan yang menyakitkan dengan golnya deal pembelian minyak besar antara Rusia, Cina, dan Saudi tadi. Dengan nilai transaksi yang sangat besar, juga dengan adanya agreement jangka panjang di antara ketiga negara tadi, sudah bisa menjamin bahwa Rubel & Yuan akan tetap digunakan dalam transaksi perdagangan selanjutnya. Apalagi mengingat posisi Saudi sebagai motor utama OPEC, di mana tindakannya melakukan de- dolarisasi transaksi perdagangan minyak kemungkinan besar akan diikuti oleh negara- negara anggota OPEC lain beserta para mitranya. Ini akan membuat nilai offshore Yuan melejit. Yang ditakutkan adalah, dengan semakin meluasnya penggunaan Yuan maka penggunaan Dolar akan berkurang, Amerika tidak bisa cetak duit banyak- banyak. Selama ini Amerika bisa menikmati keuntungan dari penggunaan Dolar sebagai mata uang acuan. Mereka tidak perlu memikirkan menyeimbangkan neraca perdagangan karena offshore Dolar sudah sangat besar jumlahnya. Amerika juga tidak lagi menjadi importir minyak terbesar sejak tahun 2017 menurut Bloomberg. Cina sudah mengambil alih posisi tersebut dengan nilai impor hampir mencapai 8 juta barrel per hari. Wow! Ini sudah jelas membuat Cina menjadi target utama dari negara- negara OPEC sekaligus menjadikannya sebagai arena kompetisi Dolar vs Yuan yang panas.
Kali ini China telah belajar dari salah langkah yang dilakukan oleh Oman, saat mereka meluncurkan kontrak berjangka minyak yang tidak menggunakan Dolar di Dubai pada tahun 2007, yang pada akhirnya tidak mampu memberikan likuiditas yang cukup bagi Oman di pasar perdagangan minyak. Cina sudah mengantisipasi dengan memasukkan poin penting dalam kontrak berjangka minyak Shanghai, di mana kontrak tersebut memperbolehkan para oil- traders menukarkan Yuan yang mereka dapat dari transaksi minyak dengan emas atau dengan kata lain konvertibilitas Yuan ke emas (https://apjjf.org/2018/22/Mathews.html). Upaya ini dinilai mampu menambah cadangan emas yang dimiliki Cina, sebagai langkah strategis untuk menjadikan nilai Yuan sama stabilnya dengan Dolar, dulu saat ia pertama kali dijadikan mata uang acuan dunia.
*Dosen FEBI UIN Antasari Banjarmasin