Memoderasi Pemahaman dan Pengalaman Beragama (Bag. II)
Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)
(Peserta Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama 7-11 Desember 2022)
Minggu lalu, 12 Desember 2022, kolum saya berisi tentang tema ini. Tulisan bagian pertama itu isinya lebih banyak menarasikan rekaman proses kegiatan orientasi yang menyenangkan. Meski ada sedikit uraian tentang konten materi orientasi, namun masih di permukaan. Kali ini saya berupaya menjelaskan hakikat moderasi beragama lebih mendalam.
Mungkin yang paling mendasar adalah uraian mengapa beragama Islam harus menempuh lajur moderat. Jawabannya adalah karena lajur keagamaan Islam yang tersedia sangatlah beragam. Coba kita lihat dalam doktrin politik. Sejak zaman sayyidina Ali sudah muncul aliran politik Khawarij, Syi’ah, Murjiah, dan Sunni. Dalam bidang teologi ada Mu’tazilah, Jabariah, Qadariah, Asy’ariah, dan Maturidiyah. Dalam bidang falsafah ada ilmu kalam (teologi dialektik), peripatetisme (masysya’iyyah), iluminisme (isyraqiyyah), sufisme/teosofi (tasawuf/‘irfani), dan filsafat hikmah/teosofi transendental (al-hikmah al-muta’aliyah). Dalam bidang tasawuf ada konsep fana-baqa-ittihad/hulul/wahdatul wujud, takhalli-tahalli-tajalli, syariah-tariqah-ma’rifah-haqiqah, iman-Islam-ihsan. Dalam bidang fikih lebih banyak lagi, terdapat banyak mazhab dan pendapat dalam bidang hukum.
Tentu tidaklah mudah menentukan jalan tengah mana yang tepat di antara banyak pemikiran keagamaan tersebut. Konsep Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah) mungkin salah satu dari tawaran yang diketengahkan selama ini. Islam Nusantara dalam arti pengakuan umat Islam Indonesia terhadap tradisi baik masyarakat yang dapat bersinergi dengan ajaran Islam “murni”, juga sebagai salah satu dimensi moderasi beragama.
Paling tidak ada dua standar yang dapat dipakai sebagai landasan menemukan jalan yang tepat di tengah belantara ragam pemikiran keagamaan tersebut, yaitu perpaduan antara rasio dan dalil dan pertimbangan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah) dalam setiap tindakan.
Pertama, pemahaman yang mengintegrasikan antara ‘aqal (rasio) dan naql (dalil). Landasan pertama ini meniscayakan pandangan tentang posisi akal yang tinggi dalam Islam. Akal sebagai potensi sentral manusia mampu menganalisis data dan menyimpulkannya untuk menemukan suatu kesimpulan yang terbaik (ashlah). Agama mengajarkan kebaikan dan keburukan. Akah akan menangkap kebaikan itu. Akal tanpa wahyu masih mungkin akan tersesat karena kamuflase (tazyiin) dari syaitan. Adapun wahyu yang dijalankan tanpa akal bagaikan suatu doktrin yang jauh dari kesadaran dan penyadaran. Agama seakan sebuah pemaksaan yang jauh dari kekinian dan kedisninian manusia. Dengan demikian, agama seakan tidak peduli dengan manusia dan kemanusiaan. Padahal, Islam adalah ajaran yang sangat berpihak pada manusia sebagai sentral kehidupan makhluk-Nya. Dengan segala kelebihannya, manusia dapat memakmurkan bumi ini dan sekaligus bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan olah tangannya.
Dengan landasan berpikir pertama ini, sangat wajar bila dalam hal fikih, misalnya, kelompok moderat menerima pola pemikiran hukum empat mazhab. Abu Hanifah (lahir di Iraq, 80 H), di samping menggunakan dalil, juga mengembangkan istihsan. Imam Malik (lahir di Madinah, 90 H), di samping menetapkan hadits dan amal ahli Madinah sebagai dasar hukum, juga mengakui al-mashlahah. Imam Syafi’i (lahir di Gaza, 150 H) mengembangkan bayan dan qiyas. Ahmad bin Hanbal (lahir di Bagdad, 164 H) meski berorientasi hadits, mengabsahkan penggunaan akal.
Pada bidang teologi, kelompok moderat mengembangkan pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah 874 M) dan Abu MAnshur al-Maturidi (lahir di Uzbekistan 847 M). Dua tokoh ini hidup pada zaman inkuisisi mazhab Mu’tazilah yang sangat mengagungkan akal. Imam Asy’ari sendiri pada mulanya adalah murid dari tokoh Mu’tazilah. Namun karena tidak dapat menerima pola pikir rasionalis gurunya, dia keluar dari mazhab ini.
Pokok ajaran Asy’ari adalah:
- Pertama, Allah memiliki sifat yang berdiri pada zat.
- Kedua, kedudukan Alquran sebagai kalam Allah (firman Allah SWT) dan bukan makhluk. Karena Alquran adalah perkataan Allah SWT, pastilah Alquran bersifat qadim. Pada poin inilah, Al-Asy’ari menentang konsep khalq al-Qur’an yang digadang-gadang Mutazilah, khususnya pada Era Mihnah (zaman inkuisisi).
- Ketiga, persoalan melihat Allah SWT di akhirat. Menurutnya, Allah SWT akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, sebab Allah SWT mempunyai wujud.
- Keempat, ihwal perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. Walaupun Al-Asy’ari mengakui adanya daya dalam diri manusia, daya itu tidak efektif, tanpa persetujuan Tuhan.
- Kelima, antropomorfisme Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya, seperti disebut dalam Alquran. Akan tetapi, tidak diketahui bagaimana bentuknya.
- Keenam, pembahasan tentang dosa besar. Orang Mukmin yang berdosa besar tetap dianggap Mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia hanya digolongkan sebagai orang fasik atau durhaka. Tentang dosa besar, perkara itu diserahkan kepada Allah SWT, apakah dosanya akan diampuni atau tidak.
- Ketujuh, keadilan Allah SWT. Allah SWT adalah Zat yang menciptakan seluruh alam semesta. Allah memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan- Nya. Karena itu, Dia dapat berbuat sekehendak-Nya. Ia dapat saja memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, sebaliknya dapat pula memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.
Meski cenderung fatalis, faham teologis Asy’ari yang berbeda dari gurunya (Al-Jubba’i) disempurnakan oleh Al-Maturidi dengan ajarannya yang lebih menekankan akal, sebagai berikut:
- Akal dan Wahyu. Akal dapat mengetahui Tuhan, berterima kasih kepada Tuhan, dan mengetahui baik dan buruk, meski wahyu belum ada.
- Iman dan kufur. Iman melalui tashdiq bil qalb dan perbuatan. Tashdiq melalui ma’rifah/penalaran akal. Pendapat ini, disamping berbeda dari Mu’tazilah, tidak sama dengan sikte Murjiah (al-Karamiyyah) yang mengatakn iman hanya iqrar billisan.
- Sifat Allah berada dalam zat-Nya, mulazamah, sehingga tdk berbilang yg qadim.
- Kalam Tuhan adalah kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak) yang bersifat qadim. Al-Quran pada sisi tulisan bersifat baru (hadits).
- Pengutusan Rasul. Allah Swt menciptakan akal yang kecenderungnnya kepada kebaikan dan menjauhi keburukan karena sebagaimana diketahui akal tidak bisa menjalankan kebaikan dan meninggalikan keburukan, maka akal membutuhkan kepada keterangan akan siapa yang mengadakan kebaikan dan keburukan tersebut dan itu diperlukan pengutusan rasul. Menurut Mu’tazilah, pengutusan Rasul adalah kewajiban Tuhan.
- Pelaku Dosa tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat.
- Manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
- Perbuatan Manusia berdasar ikhtiar (kemampuan berbuat) dan qudrat Tuhan (penciptaan perbuatan). Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia, manusia bebas memakainya. Hal ini dipadukan dengan masyi’ah (kehendak) dan ridha (kerelaan)
Demikian beberapa konsep moderat keagamaan dalam bidang fikih dan teologi yang dikembangkan di Indonesia. (Bersambung)