Ekonomi Hijau
Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)
Saya bukan ahli ekonomi, tidak pernah kuliah pula dalam jurusan/prodi ekonomi. Membaca-baca buku tentang ekonomi, paling paling sekitar memperkaya mata kuliah yang saya ajarkan, fikih muamalah. Disiplin ilmu saya saat S1 adalah tafsir hadits dan saat S2 dan S3, saya tertarik dengan hukum Islam. Saat S2, saya tertarik dengan konsep metodologi hukum Islam yang sangat dinamis (Ushul Fikih), dan saat menulis disertasi, saya sangat berminat seputar fikih lingkungan. Tesis saya berjudul “Pendekatan Kebahasaan dalam Hukum Islam, di bawah bimbingan Prof. Dr. Chuzaimah Tahedo Yanggo, MA. Adapun disertasi saya berjudul Fikih Lingkungan Hidup Perspektif Ulama Kalimantan Selatan di bawah bimbingan Prof. Dr. Syamsul Anwar, MA. Akan tetapi, oleh Rektor UIN Antasari, sejak Desember 2021, saya diamanahi memimpin fakultas baru yang cukup bergengsi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Sebagai pimpinan, saya harus tahu walau sedikit tentang core keilmuan fakultas. Jabatan baru ini membuat saya harus banyak belajar tentang ilmu ekonomi dan ekonomi Islam. Untungnya, ada jembatan yang menghubungkan antara ekonomi dan fikih lingkungan, namanya ekonomi hijau (green economy). Di atas jembatan itu, saya menjadi lebih tertarik membaca buku-buku tentang ilmu ekonomi dan mencoba mengaitkan kedua ilmu tersebut.
Ekonomi hijau merupakan sebuah konsep relasi antara ekonomi, masyarakat, dan lingkungan yang bertransformasi pada proses produksi dan pola konsumsi, berkontribusi pada pengurangan limbah, polusi, serta dengan penggunaan yang efisien terhadap sumber daya, bahan, dan energi. Semua ini akan merevitalisasi dan mendiversifikasi ekonomi, lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan.
Konsep ini merupakan kelanjutan dari kebijakan thrickle down effects yang gagal membangun pemerataan. Kemudin dilanjutkan dengan konsep growth with redistribution, appropriate technology, basic needs, dan setelahnya muncul istilah pembengunan berkelanjutan atau sustainable development dan baru pada tahun 1980-an muncullah paradigm empowermen atau pemberdayaan.
Para ahli menerjemahkan arti sustainability sebagai suatu kebijakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan kebutuhan generasi mendatang. Risiko dan dampak negatif pembangunan saat ini hendaknya jangan diwariskan kepada generasi mendatang. Konsep sustainability bermula dari The Club of Rome tahun 1972. Klub ini beranggotakan sekelompok orang yang terdiri para manajer, ahli teknik, dan ilmuan se-Eropa. Mereka berhasil menyusun suatu dokumen penting mengenai keprihatinan terhadap lingkungan yang disebtnya sebagai the limits to growth.
Sebagai agama fitrah, Islam memiliki ajaran sempurna tentang semua hal, termasuk ekonomi. Secara falsafah, kata “Islam” sendiri bermakna mendamaikan dan mensejahterakan. Aslama – yuslimu – islaaman. Falsafah itu kemudian menghasilkan rumusan general tentang kehidupan duniawi yang harus dijalani berdasar tujuan asasi agama Islam, maqashid syari’ah. Maqashid syari’ah sendiri tidak lain adalah kepentingan publik yang harus diwujudkan, dipelihara, dan dikembangkan secara dinamis. Ada lima hal yang ingin diwujudkan syariah: eksistensi agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan kepemilikan (hifzh al-din, hifzh al–nafs, hifzh al –‘aql, hifzh al-nasl, hifzh al –mal). Dalam aspek ekonomi, tentu dengan falsafat dan maqashid syari’ah, Islam menuntun agar aspek maslahat terus diwujudkan dan aspek mafsadat ditekan sekecil mungkin. Konsep upaya mewujudkan maslahat dan menekan mudarat ini dirumuskan dalam teori-teori hukum Islam bidang muamalah, qawa’id fiqhiyyah fi al-mu’amalah, termasuk di dalamnya soal penerapan konsep konservasi dan restorasi ligkungan dalam produksi dan konsumsi serta pemanfaatan sumber daya alam.
Qawaid Fiqhiyyah, Maqashid Syari’ah, apalahi Falsafah adalah formula yang masih bersifat umum. Adapun praktik ekonomi adalah sesuatu yang bersifat khas dan sangat dinamis dalam kancah kehidupan. Penerapan teori fikih dalam praktik ekonomi (tathbiq al-qawa’id) adalah suatu keterampilan ijtihad yang mengharuskan pemahaman yang baik tentang ekonomi, sekalgus penguasaan terhadap teori fikih. Di sinilah letaknya urgensi ilmu (mata kuliah) qawaid fiqhiyyah yang dipelajari mahasiswa di samping mata kuliah ilmu ekonomi dalam merealisasikan konsep ekonomi hijau.