Ilmu Keislaman dan Ilmu Modern

Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)

Civitas akademika (wagra akademik/warga kampus) UIN Antasari pasti sering mendengar kalimat “integrasi antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu modern”. Ya, karena kalimat itu berada dalam naskah Renstra UIN Antasari 2020 – 2024, buku yang wajib dimiliki dan dipahami oleh seluruh civitas akademika untuk dipedomani.

Kalimat itu tertera di bawah tema “Empat Pilar Filosofi  Keilmuan UIN Antasari”: Integrasi antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu modern, integrasi antara Islam dan kebangsaan, berbasis lokal, dan berwawasan global. Rumusan filosofi keilmuan adalah landasan ideologis pengkajian dan pengembangan keilmuan khas UIN Antasari.

Ada dua kata yang sangat penting dalam kalimat itu: ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu modern. Ilmu keislaman bukan agama Islam. Agama Islam adalah wahyu (Al-Qur’an dan Hadits Shahih). Meski demikian, ilmu keislaman terbagi dua bagian: yang disepakati karena dalil dan pemaknaannya tunggal dan yang diperselisihkan. Ilmu keislaman menyangkut produk berfikir manusia tentang agama Islam. Oleh karenanya, pradigma ilmu-ilmu keislaman bersifat tentatif, nisbi, dan relatif. Ilmu keislaman adalah hasil ijtihad yang memiliki kekutan zann, meski dalam beberapa hal, karena berdasar dalil yang jelas dan pemaknaannya disepakati ulama, bagian dari ilmu keislaman itu ada  bertaraf yakin dan tunggal.

Dalam setiap ilmu keislaman selalu menampilkan dua wajah, yang pasti dan yang menerima interpretasi. Dalam ilmu fikih, misalnya, selalu ada hal-hal yang disepakati, tetapi tetap ada yang diikhtilafkan. Bahkan yang diperselisihkan lebih luas dari yang disepakati.

Kesadaran tentang paradigma ilmu-ilmu keislaman sangat penting dalam kajian perguruan tinggi. Oleh karena itu, di Perguruan Tinggi Kegamaan Islam (PTKI), paradigma ini dibedah  dalam mata kuliah tertentu yang dalam kurikulum UIN Antasari nama mata kuliahnya berubah-ubah, seperti Pengantar Ilmu Agama Islam, Metodologi Studi Islam, Pengantar Studi Islam, dan Dirasah Islamiah.

Tidak sedikit mahasiswa yang baru belajar ilmu di perguruan tinggi, termasuk saya,  terjebak dalam “mengagamakan ilmu agama Islam”. Menyatukan yang mestinya berbeda. Menganggap mazhab tertentu sebagai yang  benar dan selainnya adalah salah. Semua itu baru disadari setelah mempelajari perbedaan antara agama dan ilmu agama dalam mata kuliah tersebut.

Adapun ilmu-ilmu modern, sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah ilmu pengetahuan pada zaman modern yang menampilkan penemuannya dengan landasan teori modern dan analisis bersistem terhadap data lapangan tertentu.   Untuk membedakannya dengan ilmu agama Islam yang pada umumnya bersifat deduktif normatif,  ilmu modern selalu berbasis data empirik dan dianalisis secara induktif.  Oleh karena itu, ilmu-ilmu modern sering disebut dengan ilmu empirik, seperti sosilogi, ekonomi, dan politik.

Integrasi antara ilmu keislaman yang dogmatik, normatif, dan deduktif dengan ilmu modern yang empirik dan induktif sangat mungkin untuk dilakukan, bahkan harus dilakukan. Dalam paradigm integratif, kebenaran tidak hanya bersumber dari dalil berupa ayat-ayat tertulis berbentuk wahyu, tetapi juga kebenaran itu ada pada hasil pikiran manusia setelah meneliti ayat-ayat berupa ciptaan-Nya, seluruh alam semesta. Sebenarnya, Al-Qur’an sudah menarasikan tentang kedua ayat ini (Al-Qur’an dan alam) sebagai sumber ilmu pengetahuan, hanya manusia sering tidak menyadarinya.

Integrasi ilmu menjadi basis kajian keilmuan yang sangat penting di tingkat perguruan tinggi. Sangat tepat apa yang dirumuskan dalam Deskripsi Jenjang Kualifikasi Kerangka Kualifkasi Nasional Indonesia (Perpres Nomor 8 Tahun 2012), bahwa ada keharusan pengkajian dan pengembangan keilmuan dengan pendekatan inter, multi, atau trandisipliner, terutama  untuk jenjang magister, dan doktor.

Dalam kajian ekonomi syariah, misalnya, perdebatan tentang riba dan bunga bank, tidak pernah selesai bila hanya berdasar pada kajian normatif. Di samping bunga bank tidak  dikenal  dalam nash, bunga bank tidak sama dengan riba. Akan tetapi bila soal bunga bank dikaji melalui pendekatan empirik induktif, makan pasti aka ada kesimpulan hukum yang tepat untuk dipedomani.