
Dampak Perang Tarif Donald Trump Bagi Ekonomi Kalimantan Selatan
Oleh: Dr. Muhaimin, S.Ag, MA
Dampak Perang Tarif Donald Trump Bagi Ekonomi Kalimantan Selatan
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Donald Trump telah meninggalkan jejak signifikan dalam lanskap ekonomi global. Kebijakan proteksionisme melalui pemberlakuan tarif tinggi terhadap produk impor dari Tiongkok menjadi pemicu utama gejolak tersebut. Namun, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh kedua negara adidaya ini, melainkan juga menyentuh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kalimantan Selatan, sebagai salah satu provinsi penghasil komoditas unggulan, ikut terdampak secara tidak langsung.
Kalimantan Selatan dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batu bara terbesar di Indonesia. Komoditas ini menyumbang proporsi signifikan terhadap pendapatan daerah maupun nasional. Dalam konteks perdagangan internasional, permintaan batu bara sangat dipengaruhi oleh dinamika ekonomi global, termasuk hubungan dagang antara negara besar seperti AS dan Tiongkok. Ketika perang tarif terjadi, arus perdagangan dan investasi global mengalami ketidakpastian, yang turut berdampak pada harga komoditas, termasuk batu bara.
Akibat dari perang tarif tersebut, pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengalami perlambatan. Tiongkok sebagai mitra dagang utama Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan, mengurangi permintaan terhadap sejumlah komoditas ekspor. Permintaan batu bara yang menurun menyebabkan harga komoditas ini jatuh di pasar internasional, sehingga berpengaruh langsung terhadap pendapatan ekspor dari Kalimantan Selatan.
Selain itu, investasi asing yang biasanya mengalir ke sektor pertambangan dan infrastruktur di Kalimantan Selatan juga terdampak. Ketidakpastian global membuat investor cenderung bersikap hati-hati, bahkan menahan investasi. Dalam jangka pendek, hal ini menyebabkan perlambatan pembangunan infrastruktur serta terbatasnya pembukaan lapangan kerja baru di daerah tersebut.
Sektor lain yang terdampak adalah perkebunan, terutama kelapa sawit dan karet. Komoditas ini juga terdampak penurunan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor akibat melambatnya aktivitas ekonomi global. Petani dan pekebun di Kalimantan Selatan mulai merasakan tekanan harga jual yang rendah, sementara biaya produksi tetap tinggi, yang menyebabkan penurunan pendapatan mereka.
Dampak sosial dari tekanan ekonomi ini pun tidak bisa diabaikan. Penurunan pendapatan masyarakat berisiko meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan. Di beberapa wilayah, terjadi peningkatan jumlah penduduk yang mencari pekerjaan di sektor informal atau melakukan migrasi ke kota-kota besar demi mencari penghidupan yang lebih baik.
Namun demikian, di tengah tantangan ini, Kalimantan Selatan juga memiliki peluang untuk melakukan diversifikasi ekonomi. Ketergantungan terhadap sektor pertambangan selama ini membuat daerah ini rentan terhadap fluktuasi harga global. Perang tarif bisa menjadi momentum untuk mengembangkan sektor lain seperti pertanian berkelanjutan, industri pengolahan, dan pariwisata berbasis kearifan lokal.
Pemerintah daerah Kalimantan Selatan mulai menyadari pentingnya memperkuat daya saing produk lokal melalui hilirisasi industri. Dengan mengolah bahan mentah menjadi produk setengah jadi atau jadi, nilai tambah dapat ditingkatkan dan ketergantungan terhadap pasar ekspor bisa dikurangi. Selain itu, program pelatihan dan pemberdayaan tenaga kerja juga menjadi prioritas untuk meningkatkan kapasitas SDM lokal.
Perang tarif juga mendorong pentingnya mencari pasar alternatif di luar Tiongkok dan AS. Negara-negara di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika mulai dilirik sebagai pasar potensial untuk ekspor komoditas Kalimantan Selatan. Strategi diplomasi ekonomi Indonesia dapat berperan penting dalam membuka jalur perdagangan baru ini.
Dalam jangka panjang, perang tarif menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap ekonomi global perlu disikapi dengan strategi yang bijak. Ketahanan ekonomi daerah seperti Kalimantan Selatan harus dibangun dengan basis ekonomi yang inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Diversifikasi sektor ekonomi akan menjadi kunci penting dalam menjaga stabilitas ekonomi daerah di tengah gejolak global.
Selain sektor riil, sektor keuangan juga terdampak. Ketidakpastian global mempengaruhi nilai tukar rupiah, yang kemudian berdampak terhadap harga barang impor dan biaya produksi. Hal ini memberikan tekanan tambahan bagi pelaku usaha lokal yang mengandalkan bahan baku impor.
Pemerintah pusat diharapkan memberikan perhatian khusus terhadap daerah-daerah penghasil komoditas seperti Kalimantan Selatan. Dukungan kebijakan fiskal dan insentif investasi diperlukan untuk mempercepat transformasi ekonomi daerah. Peran Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan kementerian terkait sangat penting dalam memfasilitasi masuknya investasi baru di sektor-sektor produktif.
Kalimantan Selatan telah menunjukkan ketahanan ekonomi yang relatif baik, namun dinamika global seperti perang tarif tetap menjadi tantangan nyata. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk membangun ekonomi daerah yang tangguh.
Sebagai penutup, meskipun perang tarif Donald Trump tidak secara langsung menargetkan Indonesia, namun dampaknya tetap terasa hingga ke Kalimantan Selatan. Ketahanan ekonomi daerah yang adaptif dan inovatif menjadi kunci untuk menghadapi gejolak global. Momentum ini bisa dimanfaatkan sebagai titik balik untuk membangun ekonomi yang lebih beragam, mandiri, dan berkelanjutan.