
Menikmati Kota dengan Walking Tour
Oleh: Muhammad Yulian Ma’mun
Sore itu selepas shalat ashar, pekan pertama bulan Ramadhan, saya didaulat menjadi pemandu dalam kegiatan tur jalan kaki (walking tour) keliling sekitar masjid Jami’ Banjarmasin. Titik kumpul bermula di halaman masjid bersejarah tersebut, lalu berjalan kaki melintasi pemukiman di Antasan Kecil Timur.
Destinasi pertama adalah langgar Sinar Masjid di pinggir sungai, lokasi awal Masjid Jami’ sebelum berada di lokasinya sekarang. Lanjut ke Pasar Lama, gardu listrik peninggalan Belanda, hingga sekolah Al Irsyad Al Islamiyah dan makam Pangeran Antasari. Total jarak yang kami tempuh lebih kurang 1,4 km dalam waktu sekitar 2 jam.
Setelah tur berakhir para partisipan berkomentar bahwa jarak itu tidak terasa. “Tau-tau sudah mau maghrib,” ujar salah satu peserta. Mengunjungi lorong-lorong gang sambil melihat situs sejarah dan kehidupan warga membuat kita asyik menyelam ke masa lalu. Warga setempat yang bersua dengan kami, juga kerap ikut menyumbang kisah tentang kampung mereka dengan antusias.
Sebenarnya tanpa pemandu pun, warga bisa berjalan kaki menjelajahi kota dengan caranya sendiri. Banyak informasi berupa artikel populer di kanal berita dan akun media sosial lokal—termasuk Banjarmasin Post—yang membahas mengenai objek menarik di dalam kota dari segi sejarah, budaya, hingga kulinernya. Para penulis ini pun banyak yang berasal dari pakar di bidang sejarah dan budaya. Jadi, kevalidan informasi bisa dipertanggungjawabkan. Contohnya, saat berjalan di Siring 0 km, kita tinggal mengetik di mesin pencari kata kunci “sejarah 0 km Banjarmasin”. Akan tersaji banyak hasil pencarian yang bisa memandu kita.
Di benak mayoritas khalayak, kata “wisata” lebih sering diartikan sebagai pergi ke wahana hiburan, atau berekreasi ke luar kota seperti pantai dan pegunungan. Sedangkan berjalan kaki di dalam kota, tidak dilakukan kecuali terpaksa atau dalam rangka jogging di hari libur. Masyarakat di kota besar memang biasa berjalan kaki karena kesehariannya menggunakan transportasi umum. Namun mengingat transportasi publik di Banua masih minim, jalan kaki belum jadi sebuah jalan hidup. Setidaknya hingga saat ini.
Beberapa tahun belakangan, budaya berjalan kaki di tanah air semakin kendur. Penelitian Althoff dkk (2017) dari Stanford University menemukan bahwa orang Indonesia termasuk kategori paling sedikit berjalan kaki, hanya 3.513 langkah perhari. Jauh di bawah warga Hongkong yang rata-rata berjalan 6.880 langkah (setara 6 km) setiap harinya.
Rendahnya angka ini disebabkan berbagai faktor seperti buruknya kualitas jalur pejalan kaki/pedestrian, tidak optimalnya transportasi umum, cuaca tropis yang panas dan lembab, mudahnya akses kredit untuk beli motor dan mobil, serta kebijakan pembangunan yang tidak tepat.
Tur Jalan Kaki sebagai Inovasi Hijau
Pengembangan pariwisata merupakan salah satu upaya Kalimantan Selatan bertransisi menuju ekonomi hijau. Selama ini ketergantungan Kalsel pada ekonomi berbasis pertambangan batu bara sangat besar. Padahal sektor ini dianggap tidak menawarkan solusi ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan. Menurut Bank Indonesia, Kalsel memerlukan inovasi hijau (greenovation) sebagai langkah menuju pembangunan daerah yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dewasa ini, muncul tren slow tourism atau “wisata lambat,” yang menekankan perjalanan yang lebih santai dan minim perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu singkat. Hasil studi World Tourism Organization (2019) bahwa para wisatawan kini tidak hanya mencari tempat menarik untuk dikunjungi, tetapi juga menginginkan pengalaman yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan budaya lokal, sejarah, dan warga setempat.
Solusi inilah yang coba ditawarkan walking tour. Dengan berjalan kaki, wisatawan dapat lebih merasakan dinamika kota dan kehidupan sosialnya, mengamati berbagai detail yang sering terlewat jika menggunakan kendaraan. Walking tour biasanya memiliki tema khusus, seperti sejarah, arsitektur, kuliner, atau budaya (Ram & Hall, 2018).
Badan Pusat Statistik memperkirakan pada tahun 2035, sebanyak 66% populasi penduduk Indonesia akan tinggal di wilayah kota. Angka ini meningkat dari 56% pada tahun 2020. Ini artinya, aktivitas masyarakat akan berpusat di kota, sehingga walking tour dapat menjadi wahana rekreasi warganya di tengah padatnya kegiatan selama sepekan. Jika waktu dan kondisi dompet kurang bersahabat untuk pelesir ke luar kota, walking tour dapat menjadi salah satu alternatif healing yang murah meriah.
Wisata jalan kaki sejalan dengan prinsip pariwisata berkelanjutan karena menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah. Walking tour mendukung pengembangan Banjarmasin sebagai kota hijau sebagaimana dicanangkan Kementerian Pekerjaan Umum sejak tahun 2011 bersama 60 kota lainnya di Indonesia. Kota hijau (green city) dirancang dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Walking tour dapat menjadi katalisator dalam menciptakan kota yang lebih ramah lingkungan dan mendukung gaya hidup aktif dan sehat. Mengingat kebiasaan “rebahan” di era modern ini membawa risiko negatif bagi tubuh.
Kurang jalan kaki meningkatkan risiko penyakit seperti gangguan jantung, diabetes, obesitas serta masalah tulang & sendi. Minimnya aktifitas fisik juga rentan mengundang problem mental berupa depresi, kecemasan, penurunan kognitif, dan gangguan tidur.
Selain memberikan nilai tambah dari segi pengalaman, walking tour juga memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Maraknya walking tour akan meningkatkan pemintaan pemandu wisata dan menaikkan gairah pariwisata di wilayah tersebut. Perputaran ekonomi pun berpotensi terjadi.
Uniknya, ada beberapa pelaku walking tour menggunakan model bisnis “pay as you wish” atau “bayar sesukamu”. Model ini memang lebih dulu marak di negara maju di mana peserta menentukan sendiri jumlah pembayaran sesuai tingkat kepuasan mereka—harga tidak dipatok oleh penyelenggara.
Pengembangan tur jalan kaki tidak dimaksudkan untuk menyaingi jenis wisata lain seperti wisata susur sungai atau wisata alam, melainkan sebagai pelengkap yang saling mendukung. Misalnya, wisatawan yang mengikuti tur jalan kaki di pusat kota dapat berpindah antar lokasi naik kapal kelotok.
Sinergi ini sangat penting untuk menciptakan ekosistem pariwisata yang komprehensif. Yaitu berbagai jenis wisata dapat berinteraksi dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi aspek sosial ekonomi daerah. Wallahua’lam.
Tulisan telah terbit di rubrik Opini Banjarmasin Post, 20 Maret 2025
Tag:M. Yulian Ma'mun, Opini, Opini dosen