Memoderasi Pemahaman dan Pengalaman Beragama (Bag. I)
Oleh: Dr. Sukarni, M.Ag (Dekan FEBI)
(Peserta Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama 7-11 Desember 2022)
Awalnya saya hanya sebagai pelengkap penderita, memenuhi angka 41 sebagai kelompok peserta minimal paket Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama, 7 – 11 Desember 2022 di Asrama Embarkasi Haji Banjarbaru yang dilaksanakan oleh Dirjen Pendis dan UIN Antasari dengan skema dana dari LPDP. Namun akhirnya saya jatuh hati juga dan merasa inn dengan pelatihan tersebut. Pasalnya, di samping dilaksanakan dengan pendekaratan belajar orang dewasa, andragogi, kegiatan ini difasilitasi oleh fasilitator professional (Ibu Endang Sutrisnowati, Bapak Yasir Arafat, dan Bapak Ikhwan Lutfi) dan narasumber-narasumber lainnya yang sangat menyenangkan. Maka jadilah waktu lima hari empat malam, termasuk hari libur (sabtu dan minggu) saya jalani dengan fun. Hal itu juga dialami oleh hampr semua peserta. Bahkan ada peserta yang agak sakit, tetap dengan senang dapat mengikutinya.
Proses pelatihan, setelah dibuka resmi oleh Rektor, dan diawali dengan perkenalan dan bina suasana antar peserta. Meski sudah kenal bahkan sangat kenal, materi ini lebih kepada upaya fasilitator mencoba berupaya melakukan proses penanggalan predikat status dan jabatan peserta sebelum jadi peserta. Sebuah pelatihan memang menghendaki agar semua peserta merasa setara. Tidak ada lagi jabatan struktural dan fungsional seperti wakil rektor, dekan, dan seterusnya, sehingga komunikasi antar sesama peserta dan antar peserta dengan fasilitator menjadi cair, itulah ice breaking.
Rektor UIN Antasari, Prof. Mujiburrahman, MA mengawali orientasi dengan wawasan akademik yang sangat penting, “Konsep Moderasi Beragama Kementerian Agama”. Yang menarik dari beliau adalah bahwa ada tiga fase hubungan agama dan negara yang terkait juga dengan kebijakan Kementerian Agama. Pertama, era Orde Lama. Saat itu agama “didesak” oleh sebagian anak bangsa menjadi dasar negara, namun gagal. Konstituante hasil Pemilu 1955 telah bersidang untuk memenuhi desakan ini, namun tidak berhasil, setelah melakukan berbagai dialog dan sidang kurang lebih selama 4 tahun. Tanggal 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante dan sebagai kepala negara, Presiden menerbitkan titah suci, kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Kedua, era Orde Baru. Saat ini, agama didorong menjadi salah satu lokomotif utama pembangunan. Pada era ini, Kementerian agama dan juga berbagai organisasi keagamaan, seperti MUI diposisiskan sebagai pendukung penuh pembangunan. Ketiga, saat terjadi reformasi, tahun 1999 hingga sekarang. Masa ini, cerita negara kita menjali berubah. Demokrasi “harus” ditegakkan. Kemerdekaan dalam arti kebebasan menjadi panglima, sekali merdeka, merdeka sekali. Era ini berbetulan dengan kecanggihan teknologi informasi. Terjadi tsunami informasi yang membawa berbagai kebaikan sekaligus kebatilan. Jadilah narasi keagamaan menjadi salah satu muatan banjir informasi tersebut. Semua pihak menjadi galau sekaligus khawatir, karena agama yang bagi penganutnya memiliki magnit emosional dapat menimbulkan percikan api pertikaian. Dari sinilah, kemudian, moderasi beragama menjadi salah satu program nasional yang Kementerian Agama menjadi pilotnya. Berbagai diskusi, seminar, dan workshop serta pelatihan dilaksanakan untuk mewujudkan program moderasi beragama ini.
Yang menyenangkan, proses pelatihan dilaksanakan dengan sangat cair dan mengalir. Materinya menantang. Mulai dari Udar Asumsi dan Bangun Perspektif, Memahami Pola Analiisis Gunung Es dan Proses “U”, Memahami Sketsa Kehidupan Beragama di Indonesia, Bedah 9 Kata Kunci Moderasi Beragama, Moderasi Beragama dalam Perspektif Normatif (Quran dan Hadits), Sikap Diri ASN Kemenag, Strategi Penguatan dengan Proses “U”: Rethingking dan Redesigning, Reframing, dan Reacting, Ekosistem PMB dengan 4 Dimensi, dan Membangun Perubahan dengan Kepeloporan.
Bagi saya yang sudah berumur mendekati 60, tidak mudah menguasai semua materi tersebut, sehingga hanya satu atau dua yang terasa menjadi prioritas. Saya kemudian merasa sangat tertarik dengan materi Prof. Dr. Phil Sahiron Syamsudin, “Moderasi Beragama dalam Perspektif Normatif”. Bagi saya, materi ini sangat mendasar, terutama terkait dengan justifikasi suatu konsep tentang beragama. Materi ini dapat menjawab, apakah moderasi dalam beragama itu punya landasan yang kuat dari sumber-sumber normatif Islam. Apakah memoderasi pemahaman dan pengalaman beragama tidak akan mendistorsi kehidupan beragama dalam arti mengurangi kualitas keimanan dan ketakwaan. Dengan gaya khasnya sebagai santri intelek dan dengan teorinya tentang Tafsir cum Magza, Prof Sahiron dapat meyakinkan saya bahwa memang banyak ayat yang dapat dijadikan landasan normatif moderasi beragama. Dengan mengutip ayat 6 dan 7 surah Al-Fatihah saja, kata Beliau, kita sudah dapat landasan yang kuat yang menegaskan keabsahan konsep moderasi beragama. Beliau mengutip Tafsir Al-Quran karya Imam Ar Razi (Muhammad bin Umar bin al- Husain bin al-Hasan bin Ali at-Taimy al-Bakri al-Tabrastani Al-Razi) dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib yang sering disebut dengan Tafsir Al-Kabir.
Di samping dua materi tersebut, pelatihan diperkaya juga dengan wawasan kebijakan Kementerian Agama yang disampaikan oleh para pejabat Kemenag, seperti Kebijakan Penguatan Moderasi Beragama di Lingkungan Kementerian Agama, Desain Penguatan Moderasi Beragama melalui Tridharma Perguruan Tinggi, dan Ekosistem Moderasi Beragama di Perguruan Tinggi.
Kesimpulannya adalah bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejewantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil berimbang dan mentaati institusi sebagi keseakatan berbangsa. Moderasi beragama bukanlah upaya memoderasikan agama, melainkan memoderasikan pemahaman dan pengalaman kita dalam beragama.
Semoga kita sebagai ASN Kementerian Agama dapat menjadi pelopor moderasi beragama. Amin.