Sungai

Oleh: Dr. H. Sukarni, M.Ag.

Mungkin benar bahwa ada dua benda di dunia yang akan mendominasi benda di negeri akhirat, paling tidak penyebutannya, yaitu air dan api. Air digambarkan mengalir jernih di sungai sorga dan api membakar manusia durjana di kawah neraka. Air digambarkan dalam sebuah sungai yang bahkan isinya bukan hanya air yang jernih, tetapi juga ada yang berisi madu, susu, dan khamar yang tidak memabukkan (QS Muhammad/47: 15).  Penduduk sorga dihadiahi berbagai buah (QS Yasin/36 : 57) sebagai hasil dari pertanian kebun yang subur karena berkah dari air sungai  mengalir. Adapun penduduk neraka meski meminum air dan memakan buah-buahan, namun air dan buah tersebut  ternyata tersusun dari materi api (QS Al-Ghasyiyah/88: 4-7 dan QS As-Saffat/37: 62-65). Kalau demikian, perlu pemahaman yang benar tentang fungsi dan posisi sungai (dan juga api) dalam khazanah  normatif, ilmu pengetahuan, dan kearifan lokal.

Kebetulan dalam  setengah bulan ini saya tiga kali mengikuti “hajatan” bertema sungai.  Pertama, 8 Juli 2024, saya menguji candidat doktor ilmu syariah UIN Antasari, Imam Alfiannoor dengan judul disertasi “Fikih Sungai dan Kearifan Lokal (Studi tentang Pemanfaatan Sungai di Kalimantan Selatan). Kebetulan saya sebagai pembimbing dua. Pak Imam (sebutan Imam Alfiannoor) memang tergolong dosen muda dan mahasiswa  doktoral yang ulet. Dia menyelesaikan S1 bidang pendidikan dengan IPK sempurna (4), lalu memutar haluan menekuni hukum Islam di PPS UIN Alauddin Makassar. Lalu S3 Ilmu Syariah di UIN Antasari. Imam juga adalah alumni pesantren modern Gontor Ponorogo.

Dalam perjalanan koleksi data penelitiannya yang berlangsung sekitar tiga tahun 3 bulan (Agustus 2020 – November 2023), Imam benar-benar masuk ke lokasi penelitian menyusuri berbagai sungai hingga ke wilayah Nagara, Kabupaten HSS. Dalam catatan perjalanan risetnya, sungai-sungai yang dia susuri mulai dari kawasan Sungai Kuin di Kota Banjarmasin, sepanjang Sungai Martapura (Sungai Lulut, Sungai Madang, Lok Baintan, Lok Bundar, Sungai Rangas, Sungai wilayah Dalam Pagar Ulu), kawasan Sungai Barito (Aluh2, Rumpiang, Anjir Pasar tepatnya desa Sunggu Punggu), dan wilayah Sungai Nagara (Desa  Tambak Bitin dan Desa  Murung Raya).

Dalam perjalanan riset yang relatif lama tersebut, Imam mengantongi  banyak data soal kearifan lokal terkait pandangan, sikap, dan prilaku masyarakat terhadap sungai, mulai yang bersifat mitos hingga yang dapat dimaknai sebagai logos.  Saking banyaknya data, Pak Imam sedikit kewalahan dalam menarasikannya secara runut.   Tetapi itulah karakter penelitian sosial, data yang berlimpah akan direduksi  untuk kemudian diverifikasi dan ditentukan tema kulturalnya. Itulah tahapan analisis dalam  peneltian sosial.

Dalam hasil penelitian, secara teoritis, sungai memiliki multi fungsi, antara lain: pengendalian banjir, pemenuhan keperluan domestik, industri, irigasi, transportasi, tambak ikan, pemancingan, pembangkit listrik, navigasi, hingga rekreasi, dan mungkin banyak lagi. Oleh karena itu sangat wajar bila sungai yang bersih menjadi simbol taman-taman sorga.

Hasil penelitian Imam  ini sangat bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan tentang sungai dalam analisis perspektif kearifan lokal dan pemanfaatannya dalam perspektif hukum Islam.  Penelitian ini sekaligus juga menjadi koreksi terhadap berbagai kearifan lokal masyakarak Banjar  terkait pemanfaatan sungai yang sejatinya harus sesuai dengan ajaran Islam. Sungai yang jernih mengalir adalah sepotong halaman dari taman sorga.

Hajatan kedua, tanggal 10 Juli 2024, saya diwawancarai  oleh Tim Peneliti  sungai lintas lembaga. Mereka adalah Dr. Muslimin A.R. Effendy, MA. (Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan  Wilayah XIII Kaltengsel); Dr. Husnul Fahimah Ilyas, MA.Hum (PR Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan-BRIN); Dr. Sarkawi B. Husain, MA (Dep. Sejarah Unair); Dr. La Ode Rabani, MA (Dep. Sejarah Unair); dan Dr. Ida Liana Tanjung, MA  (Dep. Sejarah Unhas). Tema penelitian mereka adalah : “Sungai: Jembatan Peradaban di Kalimantan Selatan” . Fokusnya adalah membahas mengenai  persebaran budaya, karakter, dan keterhubungan historis antarsitus serta potensi pengembangan dan pemanfaatannya dalam upaya pemajuan kebudayaan di Provinsi Kalimantan Selatan.

Dalam pertemuan yang santai,  kelima peneliti tersebut secara bergantian membuka percakapan. Data yang mereka gali lebih banyak data-data yang bersifat normatif, di samping kekayaan kearifan lokal masyarakat Banjar tentang sungai. Yang menarik ada beberapa hal, antara lain soal indikator air murni dalam kajian fikih.  Dalam fikih klasik, indikator air mutlak (murni) yang menjadi syarat alat bersuci menghilangkan hadas dan membersihkan najis masih bersifat indikator indrawi, warna, bau, dan rasa. Oleh karena itu ada orang yang tidak mau berwudu dengan air produk PDAM dengan alasan ada bau kaporit (zat kimia yang berfungsi sebagai disinfektan air).  Pemberian zat kimia pada air, seperti kaporit, bertujuan untuk meningkatkan kemurnian (kemutlakan) air, sehingga unsur-unsur kimia air benar-benar murni (H2O). Dengan demikian  sudah saatnya kita menggunakan konsiderasi kimiawi untuk memastikan kemurnian air. Fikih air wajib mengikutsertakan ilmu kimia. Inilah yang disebut dengan kajian agama dengan pendekatan multi dan transdisipliner.

Soal mitos masyarakat Banjar berkaitan dengan sungai juga mereka gali. Mitos dalam sebuah masyarakat memiliki fungsi edukasi. Mitos biasanya berkaitan dengan hal-hal gaib yang dapat mengendalikan dunia nyata. Istilah “pamali” (mitos pantangan) dalam masyarakat Banjar  bertujuan untuk mengarahkan anak-anak agar jangan melakukan sesuatu karena akan dapat membahayakan dirinya. Mitos akan berubah menjadi logos (ilmu pengetahuan) setelah melalui interpretasi logis. Mitos “Hantu Banyu” misalnya, memberi pengajaran kepada masyarakat agar jangan berprilaku sembarangan  terhadap sungai. Sungai harus dijaga, tidak boleh dikotori, bahkan ikannya tidak boleh diambil. Mitos “Bagaduhan Buaya” juga memiliki fungsi menjaga sungai. Mitos “Liang Tauman” mengajarkan agar ikan-ikan tidak boleh dipancing. “Liang” adalah sebuah istilah yang menunjuk pada tempat kediaman dewa, berada pada lobang di kedalaman air. “Ulak” atau pusaran air juga dianggap sebagai area berbahaya, ada hantu yang dapat menarik bendak di atasnya. Bahkan  legenda “Putri Junjung Buih” dalam sejaran Kerajaan Banjar diceriterakan sebagai perempuan dewa  yang muncul dari air.

Hajatan ketiga,  22 Juli 2024, saya menguji candidat doktor ilmu syariah UIN Antasari, Abdul Hafiz Sairazi dengan judul disertasi “Studi Ihya al-Mawat dalam Masyarakat Banjar Abad XVIII dan XIX. Lokusnya di Sungai Tuan Kecamatan Astambul. Sairazi adalah alumni Mandarah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) yang dulu bernama MAN Program Khusus (MAPK). Saya lebih suka menyebut MAPK sebagai Pondok Pesantren Negeri. Tidak sedikit alumni MAPK yang memiliki karier cemerlang dan menduduki jabatan sebagai dosen.  Tidak semua siswa MTs dan SMP bisa masuk, kecuali  yang punya ranking 1 sampai 3. Sekolahnya fullday, juga ada beasiswa.  Lembaga ini didirikan zaman Munawir Sadzali sebagai Menteri Agama. Pak Munawir memiliki banyak ijtihad dalam dunia pendidikan dan akademik. Beliau juga yang berinisiatif mengirim dosen PTKIN ke Negeri Barat untuk pengayaan metodologi berpikir.

Sairazi dengan tekun meramu data di daerah Sungai Tuan Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar. Dalam asumsi penelitiannya, karena soal Ihya al-mawat (pembukaan lahan) masuk dalam Undang-Undang Sultan Adam, maka itu tidak lain adalah ajaran fikih Syekh Arsyad al-Banjari yang diformalkan menjadi peraturan publik. Ihya al-mawat itu kemudian bukan saja teori, akan tetapi melalui kebijakan  Al-Banjari benar-benar dipraktikkan dalam bentuk pembuatan  terusan sungai sekitar 8 km. Sungai tersebut memanjang mulai dari  jembatan Astambul sebelah timur menuju Muara Hilir sebelah barat.  Melalui  kebijakan pembukaan lahan dengan basis sungai ini, berkembang usaha pertanian/perkebunan (agronomi) dan terbuka jalur transportasi. Jalur transportasi juga memungkinkan berkembangnya pemukiman baru.

Hasil penelitian Sairazi ini sangat penting untuk mengenali  ketokohan Arsyad al-Banjari. Beliau bukan saja sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai pelopor  pengembangan wilayah dan ekonomi berbasis pertanian. Beliau bukan saja ulama yang mengejar dan memberi fatwa, tetapi seorang tokoh yang  peduli dengan taraf hidup masyarakatnya.

Hasil penelitian Sairazi juga berfungsi sebagai kritik bila dikaitkan dengan kondisi Sungai Tuan sekarang. Dulu, rumah-rumah berjejer menghadap ke sungai dengan jarak kita-kita  15 – 20 meter. Di tepian  sungai ada tanaman yang bernilai manfaat bagi pemenuhan sayur mayur dan buah-buahan. Di sampingnya ada jalan setapak memanjang  sejajar sungai, kemudian baru halaman rumah. Saat ini, semua sudah berubah. Permukiman menjadi padat hingga memasuki wilayah sepadan sungai. Kebersihan dan konservasi sungai tersebut nyaris tidak terjaga. Adanya jalan darat seakan menutup mata penduduk akan jasa sungai tempo dulu. Penduduk setempat seakan lupa bahwa Sungai Tuan digali masyarakat zaman Al-Banjari adalah untuk pengairan dan transportasi dengan wilayah sepadan yang asri dan harus dilestarikan.

Tiga hajatan sungai ini mengingatkan kita bahwa Banjarmasin sebagai Kota Seribu Sungai berarti Kota seribu Sorga. Benarkah? Wallahu a’lam.