
Transformasi Zakat di Era Digital: Membangun Preferensi Muzakki melalui Teknologi
Oleh Supian Sauri, S.E.I., M.E.
Zakat adalah ibadah yang tidak hanya bernilai spiritual, tetapi juga memiliki dampak sosial-ekonomi yang besar. Sebagai rukun Islam, zakat bukan sekadar kewajiban tahunan, melainkan instrumen strategis untuk menanggulangi ketimpangan dan kemiskinan. Di era modern, pengelolaan zakat perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan perubahan pola perilaku masyarakat. Zakat kini harus dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang dinamis dan terintegrasi dengan kemajuan digital.
Berdasarkan data nasional 2023, potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai Rp327 triliun. Namun, realisasi penghimpunan oleh lembaga resmi seperti BAZNAS dan LAZ baru menyentuh angka Rp14,7 triliun. Ketimpangan ini menunjukkan adanya jarak antara pemahaman spiritual masyarakat dan preferensi untuk menyalurkan zakat melalui lembaga resmi.
Hasil riset dari UIN Antasari Banjarmasin yang telah dipublikasikan, mengungkap bahwa digitalisasi berperan besar dalam membentuk keputusan muzakki dalam memilih saluran pembayaran zakat. Pemanfaatan teknologi tidak hanya mempermudah proses pembayaran, tetapi juga memperkuat kepercayaan apabila lembaga pengelola zakat mampu menjalankannya dengan profesionalisme tinggi.
Digitalisasi zakat melampaui sekadar penggunaan platform pembayaran online. Teknologi harus menghadirkan transparansi pengelolaan, efisiensi administrasi, serta akses informasi secara real time. Melalui sistem digital, muzakki dapat memantau penyaluran zakatnya secara langsung, mendapatkan notifikasi distribusi, hingga membaca laporan keuangan lembaga. Semua ini membangun kepercayaan yang sangat dibutuhkan dalam mengalihkan preferensi masyarakat dari jalur distribusi langsung ke lembaga resmi.
Kepercayaan publik akan terbentuk apabila lembaga menunjukkan integritas dan akuntabilitas tinggi. Dalam ekosistem digital, hal ini bisa diwujudkan melalui laporan terbuka, komunikasi aktif, dan audit yang transparan. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan mampu memperkuat pengaruh teknologi dan mutu layanan terhadap keputusan muzakki. Dengan kata lain, sistem digital hanya akan efektif jika kepercayaan telah tertanam.
Religiusitas tetap memegang peran signifikan. Muzakki yang memiliki tingkat religiusitas tinggi cenderung lebih patuh terhadap sistem zakat formal dan melihat zakat sebagai tanggung jawab sosial yang mesti dikelola secara amanah. Ketika religiusitas disandingkan dengan teknologi yang transparan dan pelayanan profesional, maka potensi penghimpunan zakat dapat meningkat secara signifikan.
Transformasi digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan bagi lembaga zakat. Agar bisa menjawab tantangan zaman, lembaga zakat perlu: (1) membangun infrastruktur digital yang kuat, (2) menyajikan data penghimpunan dan penyaluran secara terbuka, (3) mengedukasi masyarakat melalui media digital, (4) menjaga hubungan personal dengan muzakki, dan (5) menjalin kolaborasi lintas sektor, termasuk dengan pemerintah dan startup teknologi.
Zakat digital adalah jembatan untuk membangun sistem yang modern, transparan, dan terpercaya. Dengan strategi yang tepat, zakat dapat menjadi kekuatan utama dalam memperkuat kesejahteraan umat secara kolektif.