
Menyikapi Darurat Sampah Kota Banjarmasin
Oleh: Dr. Muhaimin, S.Ag, MA
Kota Banjarmasin, yang dikenal dengan julukan “kota seribu sungai,” kini menghadapi masalah besar terkait sampah. Peningkatan jumlah penduduk, urbanisasi, dan pertumbuhan ekonomi menyebabkan volume sampah meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Banjarmasin, produksi sampah harian sudah mencapai lebih dari 600 ton. Jika tidak segera ditangani dengan kebijakan dan strategi yang tepat, masalah ini akan semakin memburuk.
Permasalahan utama bukan hanya terletak pada jumlah sampah yang terus bertambah, tetapi juga pada sistem pengelolaannya yang belum optimal. Banyak sampah yang masih dibuang sembarangan, baik ke sungai maupun ke area terbuka. Padahal, sungai di Banjarmasin sangat vital bagi kehidupan masyarakat, baik sebagai jalur transportasi maupun sumber daya alam. Pembuangan sampah ke sungai dapat menyebabkan dampak serius, mulai dari pencemaran air, gangguan ekosistem, hingga meningkatnya risiko banjir saat musim hujan.
Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan tersendiri. Kurangnya pemahaman tentang pemilahan sampah dan pentingnya daur ulang membuat sebagian besar warga mencampur sampah organik dan anorganik tanpa pemisahan. Padahal, dengan pemilahan sejak awal, banyak jenis sampah yang masih memiliki nilai ekonomi dan bisa didaur ulang.
Pemerintah Kota Banjarmasin telah mengambil langkah awal yang patut dihargai, seperti menerapkan kebijakan larangan penggunaan kantong plastik di pasar dan toko ritel sejak 2019. Meskipun demikian, kebijakan ini perlu diperluas dan didukung dengan penegakan hukum yang lebih tegas, serta kampanye berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Salah satu solusi yang patut didorong adalah penguatan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat, seperti dengan mengembangkan konsep Bank Sampah. Konsep ini tidak hanya dapat mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA), tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Dengan insentif yang menarik dan pendampingan yang tepat, konsep ini dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Teknologi juga dapat menjadi alat yang sangat membantu. Kota Banjarmasin bisa mengembangkan sistem pemantauan sampah berbasis digital, mulai dari pelaporan lokasi penumpukan sampah hingga sistem pengangkutan yang lebih efisien. Kerja sama dengan startup lingkungan atau universitas setempat bisa menjadi langkah inovatif untuk mewujudkan sistem yang lebih baik.
Peran pendidikan juga tak kalah penting. Sekolah-sekolah perlu dijadikan pusat edukasi lingkungan, di mana siswa diajarkan untuk memilah sampah, mengolah sampah organik menjadi kompos, serta memahami pentingnya keberlanjutan lingkungan sejak usia dini. Generasi muda memiliki peran penting dalam perubahan perilaku yang berkelanjutan.
Sektor swasta juga memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola sampah yang dihasilkan, terutama di sektor makanan, ritel, dan perhotelan. Penerapan sistem Extended Producer Responsibility (EPR) bisa memastikan bahwa produsen ikut berperan dalam proses daur ulang dan pengelolaan sampah yang mereka hasilkan.
Masalah sampah di Banjarmasin merupakan isu bersama yang memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan akademisi. Untuk menciptakan ekosistem pengelolaan sampah yang terintegrasi dan berkelanjutan, dibutuhkan komitmen bersama. Tanpa kerjasama yang solid, semua upaya akan sia-sia.
Mengubah Banjarmasin menjadi kota yang bersih dan ramah lingkungan bukanlah impian yang tidak mungkin terwujud. Dengan strategi yang tepat, edukasi yang komprehensif, serta partisipasi aktif semua pihak, darurat sampah ini bisa menjadi kesempatan untuk menciptakan kota yang lebih sehat, nyaman, dan berkelanjutan. Saatnya bagi Banjarmasin untuk bangkit, keluar dari masalah sampah, dan menuju kota hijau yang bisa dibanggakan.