
JADI PROFESOR, DEMI GENGSI ATAU KONTRIBUSI?
Oleh: Dr. Muhaimin, MA
Â
Di Indonesia, gelar akademik sering kali menjadi simbol status sosial. Gelar “Profesor” tidak hanya menunjukkan pencapaian akademik tertinggi, tetapi juga melambangkan kehormatan, kebijaksanaan, bahkan kekuasaan simbolik. Tak heran jika banyak akademisi yang mendambakan gelar ini. Namun, muncul pertanyaan penting di balik impian tersebut: Apakah keinginan menjadi profesor didorong oleh niat untuk berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan masyarakat, atau hanya demi prestise pribadi?
Pertanyaan ini menjadi relevan, terutama dalam konteks budaya kita yang masih memandang gelar sebagai tanda kesuksesan. Jika gelar profesor hanya dianggap sebagai tujuan akhir, bukan sebagai sarana untuk berkarya, maka kita bisa menghadapi krisis intelektual, di mana gelar kehilangan maknanya karena tidak disertai dengan tanggung jawab sosial dan keilmuan yang seharusnya dimiliki oleh seorang profesor.
Gelar sebagai Simbol Sosial
Sering kali, promosi jabatan akademik menjadi guru besar (profesor) disambut dengan perayaan besar, baliho ucapan selamat, dan bahkan kadang menjadi alat politik lokal. Ini bukan fenomena baru, mengingat masyarakat kita cenderung menghormati simbol. Namun, ketika simbol lebih dihargai daripada substansi, masalah mulai muncul.
Profesor seharusnya bukan hanya gelar semata—dia adalah jabatan akademik yang mengharuskan kontribusi nyata dalam perkembangan ilmu, pengajaran yang berkualitas, dan pengabdian kepada masyarakat yang berdampak. Sayangnya, banyak yang melihatnya hanya sebagai tiket menuju jabatan struktural, akses ke proyek-proyek prestisius, atau peningkatan status sosial.
Beban Moral Seorang Profesor
Profesor sejatinya adalah pemikir publik. Tugasnya tidak hanya mengajar di ruang kelas, tetapi juga memberikan arahan berpikir kepada masyarakat. Dalam hal ini, seorang profesor memikul tanggung jawab moral: menjaga integritas akademik, melakukan penelitian secara jujur, dan berbicara demi kepentingan publik, terutama ketika terjadi penyimpangan sosial, politik, atau kebijakan.
Namun, berapa banyak profesor yang aktif di ruang publik dengan suara yang tegas? Berapa banyak yang menulis di media massa, memberikan pencerahan berbasis ilmu, atau mendorong kebijakan yang lebih adil? Banyak yang memilih untuk diam atau terjebak dalam kepentingan tertentu. Apakah ini disebabkan oleh rasa takut, kenyamanan status quo, atau memang sejak awal motivasinya untuk menjadi profesor bukan untuk berkontribusi?
Dari Gengsi ke Kontribusi
Perjalanan menjadi profesor bukanlah hal yang mudah. Proses ini melibatkan perjalanan panjang dalam dunia akademik, menghasilkan publikasi ilmiah, membimbing mahasiswa, dan menjalani evaluasi yang ketat. Sayangnya, terkadang motivasi dalam menjalani proses ini bukanlah untuk tujuan luhur, melainkan hanya untuk meraih gelar sebagai validasi diri.
Padahal, jika motivasi utamanya adalah kontribusi, maka gelar profesor seharusnya menjadi langkah awal dari pengabdian intelektual yang lebih luas. Profesor yang sejati tidak berhenti setelah mendapatkan gelar, tetapi justru mulai berusaha lebih keras untuk mengaplikasikan ilmunya dalam mencari solusi terhadap masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat.
Di sinilah pentingnya menciptakan kesadaran kolektif bahwa profesi profesor bukan sekadar jabatan yang mengisolasi di menara gading, melainkan menjadi penghubung antara dunia akademik dan masyarakat. Kita membutuhkan lebih banyak profesor yang menulis untuk publik, berbicara di forum-forum diskusi, dan hadir sebagai agen perubahan sosial.
Tantangan Sistemik
Tentunya, tidak fair jika seluruh tanggung jawab ini dibebankan pada individu. Sistem pendidikan tinggi juga perlu melakukan refleksi. Banyak perguruan tinggi yang masih lebih menilai gelar daripada kualitas. Dalam seleksi jabatan, rekam jejak kontribusi sering kali diabaikan demi mengejar akreditasi atau memenuhi kuota. Dalam kondisi ini, sistem pendidikan secara tidak langsung mendorong budaya “mengejar gelar” daripada semangat untuk berkontribusi.
Selain itu, beban administratif dan birokrasi yang menumpuk juga membuat banyak akademisi kehilangan energi untuk berkarya. Proses menjadi profesor menjadi terlalu birokratis, kaku, dan seringkali terjebak pada “publikasi demi publikasi” tanpa makna substantif. Ketika publikasi hanya menjadi syarat administratif, kita kehilangan tujuan sesungguhnya dari ilmu pengetahuan—untuk memberikan solusi bagi persoalan nyata umat manusia.
Menata Ulang Orientasi Akademik
Saatnya kita menata ulang orientasi untuk menjadi profesor. Di sinilah peran penting dari kepemimpinan akademik. Para rektor, dekan, dan kepala lembaga penelitian harus mulai menekankan bahwa kontribusi adalah inti dari pengembangan karier akademik. Proses mentoring harus lebih fokus pada etika keilmuan, semangat berbagi, dan dorongan untuk menjadi intelektual publik.
Media massa juga berperan penting. Mereka dapat menjadi ruang bagi para profesor untuk menyampaikan ilmu secara populer namun tetap berkualitas. Keterlibatan profesor dalam diskursus publik akan memperkuat posisi ilmu pengetahuan sebagai dasar bagi pembangunan bangsa. Selain itu, mahasiswa juga akan mendapatkan teladan langsung dari para gurunya.
Gelar Sebagai Amanah
Menjadi profesor bukanlah akhir dari sebuah pencapaian, melainkan awal dari pengabdian intelektual yang tiada habisnya. Gelar hanyalah alat, bukan tujuan. Gengsi adalah ilusi sesaat, sementara kontribusi adalah warisan abadi. Kita boleh merasa bangga menjadi profesor, tetapi kebanggaan sejati datang dari dampak yang kita berikan kepada kehidupan orang lain.
Maka, bagi para akademisi yang sedang berjuang menuju gelar profesor, tanyakan pada diri: Apakah saya ingin menjadi profesor untuk gengsi atau untuk kontribusi? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan bagaimana wajah ilmu pengetahuan kita di masa depan.